Rabu, 01 Februari 2012

Rona Merah


Rona Merah (Carissa A Mulia)
Saat mataku tertuju pada rona merah
Tepat di ufuk barat langit-Nya
Merah dan berpendar menjadi jingga dan kuning
Cahanya merasuk ke retinaku dan membuat otakku berpikir
Inikah keindahan?

Saat rona merah itu mulai pudar
Sedikit refleksi cahayanya masih ada di atas air sungai itu
Perlahan semburan cat alami itu mulai tenggelam dan digantikan warna lain
Cahaya rembulan dan hitamnya mulai menggantikan

Saat rona merah itu kembali ke peraduan
Rindu untuknya masih terjaga di lubuk ini
Kini, remangnya rembulan yang menemani pekatnya malamku
Rona merah … aku mencintaimu

25Des2011

Tentang Latar Belakang dan Hati

 
Tulisan ini tentang bagaimana aku mulai belajar menghargai orang bukan dari latar-belakangnya.

Waktu kelas 5 SD sempat terlintas keinginan untuk menjadi seorang psikolog. Hasrat itu mungkin hanya sebuah perasaan anak yang menuju remaja. Mudah sedih, mudah tersentuh, itu yang disebut peka.
Setiap kali aku berhenti di bawah lampu merah selalu senyuman mereka yang aku cari. Ya, mereka! Anak-anak yang sebaya denganku dan remaja serta pemuda yang biasa disebut ‘gelandangan’, ‘pengamen jalanan’, ‘pemulung’. Ingin rasanya aku turun dari mobil dan memeluk mereka, berbincang dengan mereka, dan tertawa bersama mereka. Andai aku semampu itu!
Saat musim hujan mulai menyambangi kota Surabaya ini, mungkin mereka mulai bingung. Darimana uang datang kalau mereka tidak bekerja di tengah guyuran dan terpaan angin kencang?
Beberapa hari lalu aku membaca sebuah catatan di Facebook milik kakak kelas. Dia tuliskan pengalaman hari Sabtu lalu (03122011) sepulang tes akuatik di Plasa Marina, Surabaya.
Cuaca yang buruk mulai datang saat tes selesai. Aku dan 3 temanku yang pulang naik taksi saja ketakutan apalagi ‘anak itu’ yang tidak tau harus berteduh di mana.
Ini sedikit catatan milik kakak kelas. Ketika dia dan teman-temannya mau pulang setelah hujan lebat itu reda, mereka melihat seorang anak kecil yang berteduh di dekat tiang listrik. Anak itu hanya memakai jas hujan seadanya dan badannya terlihat sangat menggigil. Tiba-tiba ada segerombolan remaja laki-laki yang kelihatannya baik hati menghampiri anak itu. Ternyata anak itu penjual gorengan. Setelah satu remaja cowok itu membeli gorengannya dia menyuruh teman-temannya untuk membeli juga.
Lalu kakak kelas itu dan teman-temannya menghampiri anak itu dan membeli sedikit dari jajanan yang dijual. Ironinya ketika anak itu tidak kuat untuk berdiri, dia jatuh ke kubangan air dan uangnya berserakan. Basah. Sangat miris.
Dari kisah itu, aku berpikir bagaimana kerasnya hidup untuk seorang anak kecil. Dan air mata pun tidak bisa kubendung lagi untuk menetes. Dan dari kisah itu aku juga belajar lagi tentang kehidupan, apalagi di kota besar seperti ini.
Jadi apa yang kalian pelajari dari kisah itu?
---o---
Semakin aku tahu kejam dan kerasnya hidup, semakin aku ingin mempelajari tentang hidup dan bagaimana manusia mengatasinya.
Mereka-mereka yang latar-belakanganya ‘orang jalanan’ belum tentu itu keinginan mereka, belum tentu itu kata hati mereka. Sebelumnya, yang aku maksud ‘orang jalanan’ di sini adalah orang-orang yang punya pikiran keras, kehidupan keras, paradigma yang sempit tentang bagaimana harus menjalani hidup, orang-orang seperti preman, pemabuk, dan lainnya yang lebih banyak menggunakan otot daripada otak dan hati.
Dan keinginanku untuk mempelajari hubungan antara latar-belakang dengan hati seseorang mulai terjawab. Seorang teman, sebut saja dia Sapto (walaupun bukan nama sebenarnya). Dia satu-satunya sahabat yang bisa membuka mata hatiku dan pikiranku lebih luas.
Siapa pun yang tidak kenal ataupun hanya sekedar kenal dia pasti mencap dia sebagai badboy yang sukanya minum, rokok, dan obsesi besarnya yang ilusionis. Tapi jika kita tahu latar-belakang dan hatinya lebih dalam, kita pasti akan menangis menyesal sudah menilainya seperti itu. Itu yang terjadi padaku.
Dia seorang yang terbuka pada sahabatnya. Termasuk aku. Sekecil apapun kejadian yang dialaminya pasti dia cerita. Termasuk kebiasaannya minum saat dia depresi. Dari situ aku mulai tahu dan belajar latar-belakangnya. Banyak factor yang menyebabkan seseorang bertingkah-laku tidak benar. Termasuk dia. Factor lingkungan luarnya yang mungkin cukup keras, factor kurangnya perhatian orang tua karena sering ke luar negeri, factor landasan iman yang kurang kuat, dan lagi-lagi factor sempitnya paradigma tentang bagaimana menyelesaikan masalah hidup.
Pernah satu waktu dia mengungkapkan ini secara tersirat dari sms yang aku baca. Bahwa dia sebenarnya tidak ingin menjadi seperti yang sekarang. Peminum, perokok aktif, pembangkang, dll. Dan hipotesaku benar, factor-faktor itulah yang membuat dirinya jadi seperti ini. Itulah bukti bagaimana latar-belakang sama sekali tidak mencerminkan hati seseorang.
Kesimpulannya, jangan pernah menilai orang dari latar-belakangnya saja, karena itu belum tentu mencerminkan hati yang sebenarnya. Buka mata hati kalian lebih lebar. Lihatlah sekeliling kalian. Yang masih merintih untuk ditolong, tolonglah. Yang masih menangis untuk dirangkul, rangkullah. Yang masih bersedih untuk dihibur, hiburlah. Yang masih rapuh untuk dikuatkan, kuatkanlah. Sesungguhnya sedikit dari kalian itu banyak untuk mereka! :’)