Sabtu, 28 Juni 2014

Mentari: Getir dan Syukur

Namaku Mentari. Sulung dari dua bersaudara. Hidupku mungkin tak lebih baik dari kalian yang setiap hari mengeluh betapa polusi mulai merasuk dan merusak paru-paru, yang setiap hari berpeluh di bawah sengatan sang surya demi lembaran rupiah, ataupun yang setiap hari harus mengulum senyum menjajakan kemolekan tubuh yang menjadi andalan mereka. Sudah dapat bayangan seperti apa hidupku?

Aku hidup di antara dua kultur dan dua kepercayaan. Lahir di antara kontras kehidupan membuatku tumbuh menjadi wanita tangguh. Belajar dari semua liku yang sudah aku jalani. Tak seorang pun kini yang bisa menndukkan jiwaku. Kecuali ibunda.

Hidupku berjalan begitu mulus seperti tak ada batu terjal penghalang kebahagiaan kami. Namun hidup tetaplah seperti roda. Berputar. Mungkin jatah keluargaku untuk berleha-leha dan ongkang-ongkangan di atas sudah habis. Kini saatnya kami merasakan pahitnya hidup seperti jilatan aspal panas yang mulai mengering. Ayahanda telah bertemu Sang Pencipta. Mungkin Tuhan sudah sangat merindukan kehangatan Ayahandaku. Saat itulah, kuntum-kuntum bunga baru mulai mekar menggantikan kisah yang lama.

Remaja. Fase kehidupan yang kata orang adalah fase paling indah. Sekaligus getir. Aku yang dulu masih merangkak dan merengek meminta sentuhan manis orang tua, saat itu mulai mencoba berdiri menata langkah dan mencoba mendongak ke atas mencari apa arti hidup. Remajaku bukan berarti tak bahagia. Aku punya cara sendiri bagaimana menikmati sisa hidup.

Runtuhan batu-batu kehidupan mulai runtuh saat aku belum tahu apa arti diriku untuk keluargaku. Satu-satunya lelaki dalam rumah kami hanyalah adikku yang makan saja masih minta disuapi. Pada umumnya, sulung lah yang mengambil peran imam dan nahkoda keluarga, tapi aku hanyalah wanita. Wanita yang masih takut untuk bertemu wajah-wajah asing, yang masih ragu untuk mengambil keputusan, yang masih polos.

Ibunda. Adalah pahlawan hidup dan matiku. Amarah dan tangisnya dapat merobek setiap inchi hatiku. Begitu dengan kerutan kecil di ujung-ujung bibirnya saat dia tersenyum atas cipratan manisnya sisa hidup kami mampu menumbuhkan kembang-kembang segar dalam jiwaku. Hidup dan matiku kini hanya untuk senyum dan tangis bangga ibunda.

Sudah aku putuskan. Tidak ada lagi buku-buku, bangku-bangku, ataupun diktat perkuliahan yang hangat jadi bahan perbincangan remaja yang beranjak dewasa di luar sana. Sudah cukup bagiku semua dunia pendidikan formal ini. Tak lagi aku ingin berkutat dengan itu. Pikiranku kini hanya ibunda. Bukan tak sanggup finansial kami, bukan tak ada kesempatan, tapi entahlah........aku hanya memilih pilihan hidup. Dan ini lah pilihanku.

Oh, ya. Jangan salahkan aku jika aku tumbuh lebih tangguh dari seorang brigadir, jika aku tumbuh lebih keras dari orang jalanan, jika aku lebih kuat dari apa yang selama ini kalian bayangkan. Tuhan sudah gariskan semuanya. Aku pun tak pernah memaksa untuk bertopeng dan bertingkah layaknya remaja lain untuk mendapatkan prestis. Sekali lagi, aku punya caraku sendiri untuk menciptakan gelak tawa dalam hati dan aku juga tau bagaimana cara menghapus derap air mata yang kadang memaksa keluar.

Tak peduli bagaimana komentar bahkan cacian yang aku dapat. Ini hidupku, jalan hidupku, pilihanku. Yang berhak mengutak-atik hanyalah ibunda dan Tuhan. Yang ada di kepalaku sekarang adalah rasa syukur yang teramat besar. Aku maish bisa memilih. Aku masih bisa melihat wajah ibundaku. Aku masih bisa melindungi adikku. Aku masih sempat merasakan bangku sekolah. Aku masih bisa bersantai melepas letih di bawah atap. Aku masih bisa menatap langit dengan senyum. Dan yang pasti, aku masih bisa berjalan beriringan memikul beratnya hidup bersama ibunda. Bersama orang-orang yang menyangiku. Aku percaya, ada kala di mana aku bisa bersinar seperti namaku. Aku pun percaya kelak roda akan kembali berputar dan manisnya akhir kehidupan akan menjadi pakaian terindah untuk keluargaku.





kisah ini terinspirasi dari seorang sahabat. tidak. tidak sepenuhnya yang tertulis di sini menggambarkan kehidupannya. hanya saja, aku ingin kalian yang membaca ini, berucap syukur atas apa yang telah kehidupan berikan. karena keindahan duniawi hanyalah fana, tak akan bertahan lama. bukan bermaksud menggurui, hanya berbagi. terima kasih.