Aku anak awan. Aku sembunyikan semuanya di awan. Hanya awan yang sanggup menahan seberat apapun beban hidupku. Awan juga yang membantuku bertahan.
Aku sangat mengagumi awan. Awan tahu banyak apa yang tidak aku ketahui. Tidak, aku tidak menyembah awan. Aku hanya berterimakasih pada awan. Awanlah yang pernah merengkuh hatiku saat hampir patah. Awan yang menarik sudut-sudut bibirku yang hampir menyusut. Awan yang membantuku bersembunyi dari parang-parang kehidupan yang hampir menghujam mimpiku.
Aku sangat mencintai awan. Ketika air mata sudah tak sanggup lagi kupersembahkan pada kejamnya dunia, awan membantuku menitikkan air yang biasa orang sebut sebagai hujan.
Awan juga lembut tak seperti tanah tempatku berpijak mengadu peluang dengan jutaan daging hidup yang suka bermain hasrat. Awan juga yang mengangkatku ketika aku tenggelam tersapu badai pelik duniawi. Lembutnya juga membelai pori-poriku, membangkitkan asmaraku akan gairahku untuk kembali mencumbu duniaku.
Awan juga hebat. Dia juga membantuku melihat apa yang tak bisa mataku lihat. Memonitor luas dari atas kepala-kepala penuh ambisi. Awan juga tahu kapan harus datang dan pergi untuk menghiburku. Awan paham kapan waktunya aku harus bermandikan silaunya mentari ataupun kapan aku harus terlindungi dari tusukan sinar sang surya. Awan pun juga mengerti kapan aku harus melebarkan mataku demi mengucap syukur atas kilauan ratusan berlian yang berpendar di gelapnya malam ataupun kapan aku harus menutup rapat mataku karena awan tak ingin langit petangnya yang muram menambah pedih jiwaku.
Cuma awan yang mengertiku. Awan yang bisa mengekspresikan hembusan nafasku ketika aku sudah tak sanggup lagi bergumam. Amarahku miliknya. Milik awan hitam penuh energi listrik yang siap membabi buta tanah keringku. Cintaku juga miliknya. Milik stratus yang lembut dengan semburat tipis yang mencoba berkolaborasi dengan rona senja.
Awan, mahakarya Tuhan yang rapih membungkus hatiku dengan tali kasih dan simpul kebahagiaan.
Surabaya, 3 Agustus 2014