Orang kira ini tentang siapa yang berlari paling depan. Tapi bagiku, ini tentang siapa yang berjalan tegap sembari mengatur ritme menuju tempat terbaik. Tak jarang orang-orang beranggapan bahwa yang pertama selalulah seorang pemenang. Kadang aku juga berpikiran seperti itu. Wajar.
Lalu, apakah yang kedua, ketiga, bahkan yang keseratus itu pecundang? Ya? Bagiku tidak. Ingatkah kalian pada kisah kura-kura dan kelinci? Sang juara juga bisa jadi pecundang :)
Ini bukan tentang siapa yang tertawa dahulu. Ini tentang berapa banyak keringat dan air mata.
Pernahkah terlintas rasa takut untuk menjadi seorang pemenang? Sering bagiku. Ada rasa mengganjal yang sulit aku jelaskan. Ketika aku merasa tenaga yang aku keluarkan untuk menggores pena tak sekuat yang lain. Ketika tetesan air mataku kurang deras membasahi sajadah. Ketika hasratku tak semenggebu ribuan jiwa yang haus akan kemenangan. Dari sanalah rasa takutku tumbuh saat aku harus tertawa di atas rasa kecewa orang lain.
Bukan aku tak mau menjilat rasanya takhta raja. Bukan aku tak mau menghembus udara penuh gelora. Bukan aku ingin tenggelam terlalu lama. Aku hanya takut jatah senyumanku habis ketika para penyusul meraung manja mencoba merebut medali yang sudah di pelupuk.
Banyak aku dengar cerita orang-orang sukses yang harus bermandikan lumpur sebelum mengecup hangatnya air dalam bath up. Yang harus berkawan dengan celaan sebelum duduk tegap penuh sanjungan.
Aku juga pernah dengar kisah penginstan kehidupan yang masa tuanya harus mengiba kepedulian orang lain. Yang setiap sore memandang sendu dari kursi rotan panti werdha.
Tapi semua tak selalu seperti itu. Hanya saja mata kita tak sanggup melihat silaunya masa depan. Tangan kita tak sanggup menjangkau jutaan peluang. Kaki kita tak sanggup berderap sekaligus pada ribuan jalan. Dan hati kita tak sanggup membendung gelora duniawi yang hanya sekejap.
Sekali lagi, aku tak pernah mengutuk jalan pintas. Aku hanya takut silaunya masa depanku jadi redup, peluangku jadi basi, derapku jadi lumpuh, dan hatiku jadi mati. Aku juga tidak menuhankan rasa sakit saat tersungkur sementara yang lain masih bebas terbang. Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya mencium amarahku sendiri, bergelut dengan kecewaku, dan bergurau dengan sepiku saat yang lain sudah riuh dengan mahkotanya masing-masing. Aku hanya ingin punya cerita yang bisa membuat orang lain bertepuk tangan atas asaku untuk bangkit.
Dan lagi, hal seperti ini yang membuat otakku menggelembung penuh andai. Hatiku pun nampaknya mulai terpompa dengan gairah yang mungkin tidak bisa terpuaskan. Begitu juga kesanggupanku untuk bertahan berpura-pura menjadi karang terjal dalam kehidupan, semakin lembek. Atau mungkin, semakin mengeras? Ah, terlalu jauh sudah aku bawa rasa takut ini.
Terlalu berkelut pada rasa takut tak akan membuat gunung berpindah ataupun air di laut mengering seketika. Aku sadar dan kini paham apa yang selayaknya aku perjuangkan. Sudah cukup saatnya bagiku untuk menentukan dengan siapa aku harus berlayar. Di mana aku akan berlabuh. Kapan aku harus menebar jala. Kapan aku melepaskan amunisi. Untuk siapa keringat ini aku buang. Kepada siapa air mata ini berhilir.
Seperti kata para tetua, berjuanglah harumkan nama bangsa, negara, dan agama. Terlalu muluk-muluk bagiku. Berjuang untuk membanggakan diri sendiri rasanya sulit, kan? Tapi, tidakkah kalian berpikir seberapa hinanya hidup kalian jika membuat bangga diri sendiri saja tidak mampu?
Setelah beberapa kali tau rasanya dicambuk dan ditampar tangan dunia, aku mengerti bahwa perjuangan tak lagi tentang harga diri. Namun, perjuangan juga tentang untuk siapa harga diri kita persembahkan. Demi air mata orang tua, demi teriakan semangat para sahabat, demi ludah yang dilemparkan para musuh ke wajah kita, demi peluh para guru kehidupan kita, dan juga demi setiap detak jantung kita selama ini.
Terserah jalan mana yang ini kau tempuh, kawan. Karena kapan kau berhenti membunyikan ketuk sepatumu, kau tentukan sendiri. Begitu juga apa yang akan kau hembus di ujung perjalanan perjuanganmu. Jika kau pernah berpikir untuk berhenti berjuang, ingatlah berapa banyak tetes keringat, tangis, dan cacian yang kau terima. Keburukan tak selamanya harus dibalas dengan air tuba. Karena tembok yang terus dilumuri tinta hitam takkan pernah memantulkan cahaya. Mulailah dengan memercik tinta putih untuk menerangi hati dan jiwa yang kelam. Kawanku, kalian tidak sendiri. Jika kau pernah berpikir perjuanganmu akan sia-sia, mulailah berpikir, di sini ada aku, ada kami, para pemimpi sama sepertimu. Para pejuang yang haus akan puncak. Kita. Persembahkanlah usahamu untuk kita. Jangan kau simpan sedihmu sendiri, buanglah di mana kegagalan bermuara. Jangan pula kau simpan kemenanganmu sendiri, tebarlah bahagiamu, tanamkan semangat barumu pada benih-benih pemimpi yang mencoba mendaki tempatmu berdiri.
Pemimpi tak pernah berhenti. Pemimpi bernyali sampai mati.