Rabu, 28 Mei 2014

aku mengerti ini bukan yang pertama
mungkin ini yang kedua
atau ketiga
atau bahkan keempat

aku paham ini bukan yang pertama
aku sudah paham bagaimana rasanya jatuh
aku juga paham bagaimana rasanya dikhianati
aku juga paham bagaimana rasanya diterpa badai

aku tahu ini memang bukan yang pertama
mungkin puluhan bahkan ratusan
mungkin air mata sudah bisa membuat setengah pulau Jawa tenggelam
mungkin keringat sudah bisa membuat sawah tak lagi kekeringan

aku sangat mengerti ini bukan yang pertama
saat tawa tak lagi untuk kemenangan
saat tangis tak lagi untuk kepedihan
saat amarah tak lagi untuk kemurkaan
saat cinta tak lagi untuk rangkulan
saat rasa bangga tak lagi untuk kebahagiaan
saat rasa malu tak lagi untuk martabat

sungguh aku paham
memang begini rasanya
sudah kebal
entah mengapa

memang ini bukan yang pertama atau bahkan yang terakhir
semakin jauh semakin riuh
semakin riuh semakin tangguh
semakin tangguh semakin mengerti


carissa
Surabaya, 28 Mei 2014



Selasa, 27 Mei 2014

Ibu aku takut!

Takut kenapa, Nak?

Aku takut kalau daun di pohon itu tidak akan tumbuh lagi, Bu.

Tenang, Nak. Daun di pohon itu tidak akan habis kalau kita tetap tersenyum menyapanya setiap pagi.

Bisa begitu, Bu?

Iya, pohon butuh cinta. Bukan hanya pupuk dan air. Pohon butuh kasih sayang manusia. Bukan hanya gelutan cacing tanah di bawahnya. Pohon butuh kita. Manusia. Dan manusia butuh pohon. Jadi, selama ada manusia seperti kamu yang mau melakukan itu semua, daun di pohon itu tetap akan tumbuh seperti semangatmu untuk tetap tersenyum di sisi Ibu, Nak.

Oh, begitu ya, Bu. Tapi, aku juga masih takut.

Takut kenapa lagi, Nak?

Aku takut mereka kelaparan, Bu.

Mereka? Mereka siapa, Nak?

Iya, mereka, Bu. Mereka yang hidup di bawah bongkahan bata, yang berjuang melawan sengitnya matahari, yang tersungkur di dinginnya malam, yang tercambuk keegoisan manusia yang lain, yang terseret-seret oleh keadaan. Semakin dalam, semakin jauh, semakin perih. Aku takut bumi kita tenggelam karena air mata mereka, Bu.

Anakku. Ibu bangga dengan rasa iba milikmu. Ibu bangga dengan kekritisanmu. Iya, ibu tahu betapa perihnya setiap sentimeter langkah mereka. Ibu paham betapa sakitnya sayatan dalam hati mereka. Tapi, sebelum ibu meneruskan, ibu ingin bertanya padamu.

Tanya apa, Bu?

Dengan besarnya rasa ibamu, sebandingkah dengan usahamu menghilangkan rasa ibamu pada mereka?

Maaf, Bu.

Kenapa minta maaf?

Maaf, Bu. Saya belum berusaha untuk menghilangkan rasa iba itu. Maaf.

Hmm, baiklah, Ibu mengerti. Begini, anakku. Hidup itu sama halnya seperti pohon yang kau takutkan akan kehilangan daunnya tadi. Tak cukup usaha dari dalam. Tak cukup kemauan untuk hidup saja. Tak cukup dukungan dari alam saja. Hidup butuh perjuangan, Anakku. Tak cukup kemauan untuk bernafas saja. Tak cukup belas kasihan dari orang lain saja. Tak cukup keringat yang kau teteskan setiap otot-ototmu bekerja. Kau butuh yang lain. Kalau kau hanya diam dan mendiamkan mereka tersayat dan terperihkan, mungkin memang benar bumimu ini akan tenggelam karena air mata mereka. Tapi tunggu, ini bukan sepenuhnya salahmu, bukan salah para pemegang kekuasaan, bukan juga sepenuhnya salah orang-orang yang tiap pagi mengelap mobil berplat merah.

Lalu, salah siapa, Bu?

Salahmu.

Apa? Salahku, Bu? Mengapa?

Iya. Salahmu karena sudah mempertanyakan ini salah siapa. Tidak ada yang menginginkan hidup seperti itu, Nak. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang benar. Hanya Tuhanmu yang tahu. Kau masih menganggap Tuhan itu ada, kan? Jika tidak pun tak mengapa, itu hakmu.

Iya, Bu. Aku punya Tuhan.

Baiklah, selesai.

Tapi, Bu. Aku masih takut. Takut burung-burung itu tidak berkicau lagi membangunkanku dari tidur.

Apa maksudmu?

Iya, Bu. Aku takut tidak bisa bangun lagi, Bu. Aku takut mati, Bu.

Begini, Nak. Kau sudah mengakui kau punya Tuhan. Lantas kenapa kau takut mati? Kan semua orang juga akan mati. Akan kembali jadi tanah. Akan digrogoti cacing-cacing tanah yang biasa menggeluti akar pohon yang kau takuti daunnya akan tidak tumbuh lagi. Akan bau busuk. Semua. Iya, semuanya.

Aku tidak tahu, Bu. Aku hanya takut tidak bisa melihat pohon yang kutakuti daunnya akan tidak tumbuh lagi. Aku takut tidak bisa melihat perjuangan hidup orang lain. Aku takut tidak bisa mendengar kicauan burung lagi. Aku takut tidak siap bertemu Tuhanku. Dan, ibu tahu apa yang paling aku takutkan?

Apa, Nak?

Aku takut pergi dari kehidupan ibu. Aku takut tidak bisa mendengar nyanyian ibu. Aku takut tidak bisa merasakan dekapan ibu. Aku takut tidak bisa melihat kilauan mata ibu. Aku takut tidak bisa menenangkan ibu saat ibu menangis. Dan aku takut ibu pergi.

Anakku, ibu tidak akan pergi kemanapun tanpamu.

Sang ibu pun menangis dan mendekap anaknya seerat cengkeraman cakram pada motor. A-hah. Bukan. Ini bukan tentang renungan bahwa kita harus memeluk ibu kita seusai membaca ini. Bukan. Aku pun tak tahu ini apa. Hanya saja, benar, memang aku takut semua ini pergi. Menghilang begitu saja. Aku juga takut, Tuhan.
aku tahu ini bukan cinta
saat kemauan tak sejalan dengan kebutuhan
saat langit tak lagi sehangat dekapan
saat kelopak tak lagi semangat mekar

aku tahu ini bukan cinta
saat hembusan angin mampu menjatuhkan hatiku
saat butiran pasir mampu membutakan pandanganku
saat tetesan air mampu menenggelamkan ragaku

aku tahu ini bukan cinta
karena cinta tidak pernah memaksa
karena cinta tidak pernah meminta
karena cinta tidak pernah mengecewakan

aku yakin ini bukan cinta
cinta seharusnya mendekap bukan menjatuhkan
cinta seharusnya bersiul bukan berdeham
cinta seharusnya membelai bukan mencaci

aku sangat yakin ini bukan cinta
kenapa? kau masih tanya mengapa?
karena cinta tidak bertanya
tapi cinta menjawab


carissa
Surabaya, 27 Mei 2014