Kamis, 19 Juni 2014

SURTI

Namanya Surti
Perempuan yang dulu berhias tahta
Bersuami hebat
Bermandikan harta

Surti, nama yang indah pada masanya
Parasnya yang menawan tak pelak membuat semua lelaki terpana
Namun sayang, indah kerlingan matanya tak seindah hatinya
Kemilau di luar, busuk di jiwa

Surti, begitu tetangga-tetangganya memanggil
Suaminya seorang pejabat daerah dengan jas rapih setiap pagi
Dua anak lelakinya tumbuh menjadi dewasa tampan
Begitu juga dengan keangkuhan Surti yang semakin menggebu

Surti tak hanya tinggal dengan keluarga kecil bahagianya
Sanak-saudaranya juga berkumpul riuh di satu rumah bersekat
Tapi hanya Surti yang bergelimang dan buta oleh harta
Matanya tertutup rapat oleh rupiah, begitu juga hatinya pada sanak-saudaranya

Ada satu hal yang masih terngat tentang Surti
Semua benda yang menyimpan makanan pasti dia kunci rapat-rapat
Jangan sangka saudaranya, anaknya pun tak boleh menyentuh kulkas tanpa seizin Surti
Bejat betul hatinya. Keras.

Tapi hidup Surti kini berputar ke bawah
Sepeninggal suami dan menjanda, tak banyak sisa harta yang bisa diharapkan
Kacau sana, kacau sini
Patah sini, patah sana

Harapan hidup Surti kini hanya pada sanak-saudaranya
Entah urat malu yang dipunya sudah putus atau memang tak pernah punya
Surti dengan segala drama tangis haru pilunya mencoba mengais iba
Terseok-seok bersama penyesalan yang sulit untuk dimaafkan

Anak Surti? Jangan ditanya.
Sudahlah...sepertinya Tuhan pun tak sudi memperbaiki hidup Surti
Kini hidupnya tak lebih baik dari orang jalanan, yah walaupun Surti masih bisa menangis di bawah atap
Tapi memang ini dirasa pantas buat Surti

Duh Surti
Mungkin sudah terlalu banyak serpihan hati milik orang lain yang kau timbun
Kini mereka tumbuh mencoba membalaskan dendamnya, maka dari itu jaga diri baik-baik
Tak usahlah kau terlalu berharap bantuan Tuhan yang pernah kau tinggalkan demi berlianmu

Surti....Surti....
Kasihan suamimu yang harus menanggung dosamu
Kasihan anak-anakmu yang harus menerima karmamu
Kasihan sekali kamu, Surti...
Untunglah Tuhan Maha Pengampun, tak sepertemu yang jago mengutuk














Surabaya, 19 Juni 2014