Aku anak awan. Aku sembunyikan semuanya di awan. Hanya awan yang sanggup menahan seberat apapun beban hidupku. Awan juga yang membantuku bertahan.
Aku sangat mengagumi awan. Awan tahu banyak apa yang tidak aku ketahui. Tidak, aku tidak menyembah awan. Aku hanya berterimakasih pada awan. Awanlah yang pernah merengkuh hatiku saat hampir patah. Awan yang menarik sudut-sudut bibirku yang hampir menyusut. Awan yang membantuku bersembunyi dari parang-parang kehidupan yang hampir menghujam mimpiku.
Aku sangat mencintai awan. Ketika air mata sudah tak sanggup lagi kupersembahkan pada kejamnya dunia, awan membantuku menitikkan air yang biasa orang sebut sebagai hujan.
Awan juga lembut tak seperti tanah tempatku berpijak mengadu peluang dengan jutaan daging hidup yang suka bermain hasrat. Awan juga yang mengangkatku ketika aku tenggelam tersapu badai pelik duniawi. Lembutnya juga membelai pori-poriku, membangkitkan asmaraku akan gairahku untuk kembali mencumbu duniaku.
Awan juga hebat. Dia juga membantuku melihat apa yang tak bisa mataku lihat. Memonitor luas dari atas kepala-kepala penuh ambisi. Awan juga tahu kapan harus datang dan pergi untuk menghiburku. Awan paham kapan waktunya aku harus bermandikan silaunya mentari ataupun kapan aku harus terlindungi dari tusukan sinar sang surya. Awan pun juga mengerti kapan aku harus melebarkan mataku demi mengucap syukur atas kilauan ratusan berlian yang berpendar di gelapnya malam ataupun kapan aku harus menutup rapat mataku karena awan tak ingin langit petangnya yang muram menambah pedih jiwaku.
Cuma awan yang mengertiku. Awan yang bisa mengekspresikan hembusan nafasku ketika aku sudah tak sanggup lagi bergumam. Amarahku miliknya. Milik awan hitam penuh energi listrik yang siap membabi buta tanah keringku. Cintaku juga miliknya. Milik stratus yang lembut dengan semburat tipis yang mencoba berkolaborasi dengan rona senja.
Awan, mahakarya Tuhan yang rapih membungkus hatiku dengan tali kasih dan simpul kebahagiaan.
Surabaya, 3 Agustus 2014
Minggu, 03 Agustus 2014
Sabtu, 28 Juni 2014
Mentari: Getir dan Syukur
Namaku Mentari. Sulung dari dua bersaudara. Hidupku mungkin tak lebih baik dari kalian yang setiap hari mengeluh betapa polusi mulai merasuk dan merusak paru-paru, yang setiap hari berpeluh di bawah sengatan sang surya demi lembaran rupiah, ataupun yang setiap hari harus mengulum senyum menjajakan kemolekan tubuh yang menjadi andalan mereka. Sudah dapat bayangan seperti apa hidupku?
Aku hidup di antara dua kultur dan dua kepercayaan. Lahir di antara kontras kehidupan membuatku tumbuh menjadi wanita tangguh. Belajar dari semua liku yang sudah aku jalani. Tak seorang pun kini yang bisa menndukkan jiwaku. Kecuali ibunda.
Hidupku berjalan begitu mulus seperti tak ada batu terjal penghalang kebahagiaan kami. Namun hidup tetaplah seperti roda. Berputar. Mungkin jatah keluargaku untuk berleha-leha dan ongkang-ongkangan di atas sudah habis. Kini saatnya kami merasakan pahitnya hidup seperti jilatan aspal panas yang mulai mengering. Ayahanda telah bertemu Sang Pencipta. Mungkin Tuhan sudah sangat merindukan kehangatan Ayahandaku. Saat itulah, kuntum-kuntum bunga baru mulai mekar menggantikan kisah yang lama.
Remaja. Fase kehidupan yang kata orang adalah fase paling indah. Sekaligus getir. Aku yang dulu masih merangkak dan merengek meminta sentuhan manis orang tua, saat itu mulai mencoba berdiri menata langkah dan mencoba mendongak ke atas mencari apa arti hidup. Remajaku bukan berarti tak bahagia. Aku punya cara sendiri bagaimana menikmati sisa hidup.
Runtuhan batu-batu kehidupan mulai runtuh saat aku belum tahu apa arti diriku untuk keluargaku. Satu-satunya lelaki dalam rumah kami hanyalah adikku yang makan saja masih minta disuapi. Pada umumnya, sulung lah yang mengambil peran imam dan nahkoda keluarga, tapi aku hanyalah wanita. Wanita yang masih takut untuk bertemu wajah-wajah asing, yang masih ragu untuk mengambil keputusan, yang masih polos.
Ibunda. Adalah pahlawan hidup dan matiku. Amarah dan tangisnya dapat merobek setiap inchi hatiku. Begitu dengan kerutan kecil di ujung-ujung bibirnya saat dia tersenyum atas cipratan manisnya sisa hidup kami mampu menumbuhkan kembang-kembang segar dalam jiwaku. Hidup dan matiku kini hanya untuk senyum dan tangis bangga ibunda.
Sudah aku putuskan. Tidak ada lagi buku-buku, bangku-bangku, ataupun diktat perkuliahan yang hangat jadi bahan perbincangan remaja yang beranjak dewasa di luar sana. Sudah cukup bagiku semua dunia pendidikan formal ini. Tak lagi aku ingin berkutat dengan itu. Pikiranku kini hanya ibunda. Bukan tak sanggup finansial kami, bukan tak ada kesempatan, tapi entahlah........aku hanya memilih pilihan hidup. Dan ini lah pilihanku.
Oh, ya. Jangan salahkan aku jika aku tumbuh lebih tangguh dari seorang brigadir, jika aku tumbuh lebih keras dari orang jalanan, jika aku lebih kuat dari apa yang selama ini kalian bayangkan. Tuhan sudah gariskan semuanya. Aku pun tak pernah memaksa untuk bertopeng dan bertingkah layaknya remaja lain untuk mendapatkan prestis. Sekali lagi, aku punya caraku sendiri untuk menciptakan gelak tawa dalam hati dan aku juga tau bagaimana cara menghapus derap air mata yang kadang memaksa keluar.
Tak peduli bagaimana komentar bahkan cacian yang aku dapat. Ini hidupku, jalan hidupku, pilihanku. Yang berhak mengutak-atik hanyalah ibunda dan Tuhan. Yang ada di kepalaku sekarang adalah rasa syukur yang teramat besar. Aku maish bisa memilih. Aku masih bisa melihat wajah ibundaku. Aku masih bisa melindungi adikku. Aku masih sempat merasakan bangku sekolah. Aku masih bisa bersantai melepas letih di bawah atap. Aku masih bisa menatap langit dengan senyum. Dan yang pasti, aku masih bisa berjalan beriringan memikul beratnya hidup bersama ibunda. Bersama orang-orang yang menyangiku. Aku percaya, ada kala di mana aku bisa bersinar seperti namaku. Aku pun percaya kelak roda akan kembali berputar dan manisnya akhir kehidupan akan menjadi pakaian terindah untuk keluargaku.
kisah ini terinspirasi dari seorang sahabat. tidak. tidak sepenuhnya yang tertulis di sini menggambarkan kehidupannya. hanya saja, aku ingin kalian yang membaca ini, berucap syukur atas apa yang telah kehidupan berikan. karena keindahan duniawi hanyalah fana, tak akan bertahan lama. bukan bermaksud menggurui, hanya berbagi. terima kasih.
Aku hidup di antara dua kultur dan dua kepercayaan. Lahir di antara kontras kehidupan membuatku tumbuh menjadi wanita tangguh. Belajar dari semua liku yang sudah aku jalani. Tak seorang pun kini yang bisa menndukkan jiwaku. Kecuali ibunda.
Hidupku berjalan begitu mulus seperti tak ada batu terjal penghalang kebahagiaan kami. Namun hidup tetaplah seperti roda. Berputar. Mungkin jatah keluargaku untuk berleha-leha dan ongkang-ongkangan di atas sudah habis. Kini saatnya kami merasakan pahitnya hidup seperti jilatan aspal panas yang mulai mengering. Ayahanda telah bertemu Sang Pencipta. Mungkin Tuhan sudah sangat merindukan kehangatan Ayahandaku. Saat itulah, kuntum-kuntum bunga baru mulai mekar menggantikan kisah yang lama.
Remaja. Fase kehidupan yang kata orang adalah fase paling indah. Sekaligus getir. Aku yang dulu masih merangkak dan merengek meminta sentuhan manis orang tua, saat itu mulai mencoba berdiri menata langkah dan mencoba mendongak ke atas mencari apa arti hidup. Remajaku bukan berarti tak bahagia. Aku punya cara sendiri bagaimana menikmati sisa hidup.
Runtuhan batu-batu kehidupan mulai runtuh saat aku belum tahu apa arti diriku untuk keluargaku. Satu-satunya lelaki dalam rumah kami hanyalah adikku yang makan saja masih minta disuapi. Pada umumnya, sulung lah yang mengambil peran imam dan nahkoda keluarga, tapi aku hanyalah wanita. Wanita yang masih takut untuk bertemu wajah-wajah asing, yang masih ragu untuk mengambil keputusan, yang masih polos.
Ibunda. Adalah pahlawan hidup dan matiku. Amarah dan tangisnya dapat merobek setiap inchi hatiku. Begitu dengan kerutan kecil di ujung-ujung bibirnya saat dia tersenyum atas cipratan manisnya sisa hidup kami mampu menumbuhkan kembang-kembang segar dalam jiwaku. Hidup dan matiku kini hanya untuk senyum dan tangis bangga ibunda.
Sudah aku putuskan. Tidak ada lagi buku-buku, bangku-bangku, ataupun diktat perkuliahan yang hangat jadi bahan perbincangan remaja yang beranjak dewasa di luar sana. Sudah cukup bagiku semua dunia pendidikan formal ini. Tak lagi aku ingin berkutat dengan itu. Pikiranku kini hanya ibunda. Bukan tak sanggup finansial kami, bukan tak ada kesempatan, tapi entahlah........aku hanya memilih pilihan hidup. Dan ini lah pilihanku.
Oh, ya. Jangan salahkan aku jika aku tumbuh lebih tangguh dari seorang brigadir, jika aku tumbuh lebih keras dari orang jalanan, jika aku lebih kuat dari apa yang selama ini kalian bayangkan. Tuhan sudah gariskan semuanya. Aku pun tak pernah memaksa untuk bertopeng dan bertingkah layaknya remaja lain untuk mendapatkan prestis. Sekali lagi, aku punya caraku sendiri untuk menciptakan gelak tawa dalam hati dan aku juga tau bagaimana cara menghapus derap air mata yang kadang memaksa keluar.
Tak peduli bagaimana komentar bahkan cacian yang aku dapat. Ini hidupku, jalan hidupku, pilihanku. Yang berhak mengutak-atik hanyalah ibunda dan Tuhan. Yang ada di kepalaku sekarang adalah rasa syukur yang teramat besar. Aku maish bisa memilih. Aku masih bisa melihat wajah ibundaku. Aku masih bisa melindungi adikku. Aku masih sempat merasakan bangku sekolah. Aku masih bisa bersantai melepas letih di bawah atap. Aku masih bisa menatap langit dengan senyum. Dan yang pasti, aku masih bisa berjalan beriringan memikul beratnya hidup bersama ibunda. Bersama orang-orang yang menyangiku. Aku percaya, ada kala di mana aku bisa bersinar seperti namaku. Aku pun percaya kelak roda akan kembali berputar dan manisnya akhir kehidupan akan menjadi pakaian terindah untuk keluargaku.
kisah ini terinspirasi dari seorang sahabat. tidak. tidak sepenuhnya yang tertulis di sini menggambarkan kehidupannya. hanya saja, aku ingin kalian yang membaca ini, berucap syukur atas apa yang telah kehidupan berikan. karena keindahan duniawi hanyalah fana, tak akan bertahan lama. bukan bermaksud menggurui, hanya berbagi. terima kasih.
Kamis, 19 Juni 2014
SURTI
Namanya Surti
Perempuan yang dulu berhias tahta
Bersuami hebat
Bermandikan harta
Surti, nama yang indah pada masanya
Parasnya yang menawan tak pelak membuat semua lelaki terpana
Namun sayang, indah kerlingan matanya tak seindah hatinya
Kemilau di luar, busuk di jiwa
Surti, begitu tetangga-tetangganya memanggil
Suaminya seorang pejabat daerah dengan jas rapih setiap pagi
Dua anak lelakinya tumbuh menjadi dewasa tampan
Begitu juga dengan keangkuhan Surti yang semakin menggebu
Surti tak hanya tinggal dengan keluarga kecil bahagianya
Sanak-saudaranya juga berkumpul riuh di satu rumah bersekat
Tapi hanya Surti yang bergelimang dan buta oleh harta
Matanya tertutup rapat oleh rupiah, begitu juga hatinya pada sanak-saudaranya
Ada satu hal yang masih terngat tentang Surti
Semua benda yang menyimpan makanan pasti dia kunci rapat-rapat
Jangan sangka saudaranya, anaknya pun tak boleh menyentuh kulkas tanpa seizin Surti
Bejat betul hatinya. Keras.
Tapi hidup Surti kini berputar ke bawah
Sepeninggal suami dan menjanda, tak banyak sisa harta yang bisa diharapkan
Kacau sana, kacau sini
Patah sini, patah sana
Harapan hidup Surti kini hanya pada sanak-saudaranya
Entah urat malu yang dipunya sudah putus atau memang tak pernah punya
Surti dengan segala drama tangis haru pilunya mencoba mengais iba
Terseok-seok bersama penyesalan yang sulit untuk dimaafkan
Anak Surti? Jangan ditanya.
Sudahlah...sepertinya Tuhan pun tak sudi memperbaiki hidup Surti
Kini hidupnya tak lebih baik dari orang jalanan, yah walaupun Surti masih bisa menangis di bawah atap
Tapi memang ini dirasa pantas buat Surti
Duh Surti
Mungkin sudah terlalu banyak serpihan hati milik orang lain yang kau timbun
Kini mereka tumbuh mencoba membalaskan dendamnya, maka dari itu jaga diri baik-baik
Tak usahlah kau terlalu berharap bantuan Tuhan yang pernah kau tinggalkan demi berlianmu
Surti....Surti....
Kasihan suamimu yang harus menanggung dosamu
Kasihan anak-anakmu yang harus menerima karmamu
Kasihan sekali kamu, Surti...
Untunglah Tuhan Maha Pengampun, tak sepertemu yang jago mengutuk
Surabaya, 19 Juni 2014
Perempuan yang dulu berhias tahta
Bersuami hebat
Bermandikan harta
Surti, nama yang indah pada masanya
Parasnya yang menawan tak pelak membuat semua lelaki terpana
Namun sayang, indah kerlingan matanya tak seindah hatinya
Kemilau di luar, busuk di jiwa
Surti, begitu tetangga-tetangganya memanggil
Suaminya seorang pejabat daerah dengan jas rapih setiap pagi
Dua anak lelakinya tumbuh menjadi dewasa tampan
Begitu juga dengan keangkuhan Surti yang semakin menggebu
Surti tak hanya tinggal dengan keluarga kecil bahagianya
Sanak-saudaranya juga berkumpul riuh di satu rumah bersekat
Tapi hanya Surti yang bergelimang dan buta oleh harta
Matanya tertutup rapat oleh rupiah, begitu juga hatinya pada sanak-saudaranya
Ada satu hal yang masih terngat tentang Surti
Semua benda yang menyimpan makanan pasti dia kunci rapat-rapat
Jangan sangka saudaranya, anaknya pun tak boleh menyentuh kulkas tanpa seizin Surti
Bejat betul hatinya. Keras.
Tapi hidup Surti kini berputar ke bawah
Sepeninggal suami dan menjanda, tak banyak sisa harta yang bisa diharapkan
Kacau sana, kacau sini
Patah sini, patah sana
Harapan hidup Surti kini hanya pada sanak-saudaranya
Entah urat malu yang dipunya sudah putus atau memang tak pernah punya
Surti dengan segala drama tangis haru pilunya mencoba mengais iba
Terseok-seok bersama penyesalan yang sulit untuk dimaafkan
Anak Surti? Jangan ditanya.
Sudahlah...sepertinya Tuhan pun tak sudi memperbaiki hidup Surti
Kini hidupnya tak lebih baik dari orang jalanan, yah walaupun Surti masih bisa menangis di bawah atap
Tapi memang ini dirasa pantas buat Surti
Duh Surti
Mungkin sudah terlalu banyak serpihan hati milik orang lain yang kau timbun
Kini mereka tumbuh mencoba membalaskan dendamnya, maka dari itu jaga diri baik-baik
Tak usahlah kau terlalu berharap bantuan Tuhan yang pernah kau tinggalkan demi berlianmu
Surti....Surti....
Kasihan suamimu yang harus menanggung dosamu
Kasihan anak-anakmu yang harus menerima karmamu
Kasihan sekali kamu, Surti...
Untunglah Tuhan Maha Pengampun, tak sepertemu yang jago mengutuk
Surabaya, 19 Juni 2014
Rabu, 28 Mei 2014
aku mengerti ini bukan yang pertama
mungkin ini yang kedua
atau ketiga
atau bahkan keempat
aku paham ini bukan yang pertama
aku sudah paham bagaimana rasanya jatuh
aku juga paham bagaimana rasanya dikhianati
aku juga paham bagaimana rasanya diterpa badai
aku tahu ini memang bukan yang pertama
mungkin puluhan bahkan ratusan
mungkin air mata sudah bisa membuat setengah pulau Jawa tenggelam
mungkin keringat sudah bisa membuat sawah tak lagi kekeringan
aku sangat mengerti ini bukan yang pertama
saat tawa tak lagi untuk kemenangan
saat tangis tak lagi untuk kepedihan
saat amarah tak lagi untuk kemurkaan
saat cinta tak lagi untuk rangkulan
saat rasa bangga tak lagi untuk kebahagiaan
saat rasa malu tak lagi untuk martabat
sungguh aku paham
memang begini rasanya
sudah kebal
entah mengapa
memang ini bukan yang pertama atau bahkan yang terakhir
semakin jauh semakin riuh
semakin riuh semakin tangguh
semakin tangguh semakin mengerti
carissa
Surabaya, 28 Mei 2014
mungkin ini yang kedua
atau ketiga
atau bahkan keempat
aku paham ini bukan yang pertama
aku sudah paham bagaimana rasanya jatuh
aku juga paham bagaimana rasanya dikhianati
aku juga paham bagaimana rasanya diterpa badai
aku tahu ini memang bukan yang pertama
mungkin puluhan bahkan ratusan
mungkin air mata sudah bisa membuat setengah pulau Jawa tenggelam
mungkin keringat sudah bisa membuat sawah tak lagi kekeringan
aku sangat mengerti ini bukan yang pertama
saat tawa tak lagi untuk kemenangan
saat tangis tak lagi untuk kepedihan
saat amarah tak lagi untuk kemurkaan
saat cinta tak lagi untuk rangkulan
saat rasa bangga tak lagi untuk kebahagiaan
saat rasa malu tak lagi untuk martabat
sungguh aku paham
memang begini rasanya
sudah kebal
entah mengapa
memang ini bukan yang pertama atau bahkan yang terakhir
semakin jauh semakin riuh
semakin riuh semakin tangguh
semakin tangguh semakin mengerti
carissa
Surabaya, 28 Mei 2014
Selasa, 27 Mei 2014
Ibu aku takut!
Takut kenapa, Nak?
Aku takut kalau daun di pohon itu tidak akan tumbuh lagi, Bu.
Tenang, Nak. Daun di pohon itu tidak akan habis kalau kita tetap tersenyum menyapanya setiap pagi.
Bisa begitu, Bu?
Iya, pohon butuh cinta. Bukan hanya pupuk dan air. Pohon butuh kasih sayang manusia. Bukan hanya gelutan cacing tanah di bawahnya. Pohon butuh kita. Manusia. Dan manusia butuh pohon. Jadi, selama ada manusia seperti kamu yang mau melakukan itu semua, daun di pohon itu tetap akan tumbuh seperti semangatmu untuk tetap tersenyum di sisi Ibu, Nak.
Oh, begitu ya, Bu. Tapi, aku juga masih takut.
Takut kenapa lagi, Nak?
Aku takut mereka kelaparan, Bu.
Mereka? Mereka siapa, Nak?
Iya, mereka, Bu. Mereka yang hidup di bawah bongkahan bata, yang berjuang melawan sengitnya matahari, yang tersungkur di dinginnya malam, yang tercambuk keegoisan manusia yang lain, yang terseret-seret oleh keadaan. Semakin dalam, semakin jauh, semakin perih. Aku takut bumi kita tenggelam karena air mata mereka, Bu.
Anakku. Ibu bangga dengan rasa iba milikmu. Ibu bangga dengan kekritisanmu. Iya, ibu tahu betapa perihnya setiap sentimeter langkah mereka. Ibu paham betapa sakitnya sayatan dalam hati mereka. Tapi, sebelum ibu meneruskan, ibu ingin bertanya padamu.
Tanya apa, Bu?
Dengan besarnya rasa ibamu, sebandingkah dengan usahamu menghilangkan rasa ibamu pada mereka?
Maaf, Bu.
Kenapa minta maaf?
Maaf, Bu. Saya belum berusaha untuk menghilangkan rasa iba itu. Maaf.
Hmm, baiklah, Ibu mengerti. Begini, anakku. Hidup itu sama halnya seperti pohon yang kau takutkan akan kehilangan daunnya tadi. Tak cukup usaha dari dalam. Tak cukup kemauan untuk hidup saja. Tak cukup dukungan dari alam saja. Hidup butuh perjuangan, Anakku. Tak cukup kemauan untuk bernafas saja. Tak cukup belas kasihan dari orang lain saja. Tak cukup keringat yang kau teteskan setiap otot-ototmu bekerja. Kau butuh yang lain. Kalau kau hanya diam dan mendiamkan mereka tersayat dan terperihkan, mungkin memang benar bumimu ini akan tenggelam karena air mata mereka. Tapi tunggu, ini bukan sepenuhnya salahmu, bukan salah para pemegang kekuasaan, bukan juga sepenuhnya salah orang-orang yang tiap pagi mengelap mobil berplat merah.
Lalu, salah siapa, Bu?
Salahmu.
Apa? Salahku, Bu? Mengapa?
Iya. Salahmu karena sudah mempertanyakan ini salah siapa. Tidak ada yang menginginkan hidup seperti itu, Nak. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang benar. Hanya Tuhanmu yang tahu. Kau masih menganggap Tuhan itu ada, kan? Jika tidak pun tak mengapa, itu hakmu.
Iya, Bu. Aku punya Tuhan.
Baiklah, selesai.
Tapi, Bu. Aku masih takut. Takut burung-burung itu tidak berkicau lagi membangunkanku dari tidur.
Apa maksudmu?
Iya, Bu. Aku takut tidak bisa bangun lagi, Bu. Aku takut mati, Bu.
Begini, Nak. Kau sudah mengakui kau punya Tuhan. Lantas kenapa kau takut mati? Kan semua orang juga akan mati. Akan kembali jadi tanah. Akan digrogoti cacing-cacing tanah yang biasa menggeluti akar pohon yang kau takuti daunnya akan tidak tumbuh lagi. Akan bau busuk. Semua. Iya, semuanya.
Aku tidak tahu, Bu. Aku hanya takut tidak bisa melihat pohon yang kutakuti daunnya akan tidak tumbuh lagi. Aku takut tidak bisa melihat perjuangan hidup orang lain. Aku takut tidak bisa mendengar kicauan burung lagi. Aku takut tidak siap bertemu Tuhanku. Dan, ibu tahu apa yang paling aku takutkan?
Apa, Nak?
Aku takut pergi dari kehidupan ibu. Aku takut tidak bisa mendengar nyanyian ibu. Aku takut tidak bisa merasakan dekapan ibu. Aku takut tidak bisa melihat kilauan mata ibu. Aku takut tidak bisa menenangkan ibu saat ibu menangis. Dan aku takut ibu pergi.
Anakku, ibu tidak akan pergi kemanapun tanpamu.
Sang ibu pun menangis dan mendekap anaknya seerat cengkeraman cakram pada motor. A-hah. Bukan. Ini bukan tentang renungan bahwa kita harus memeluk ibu kita seusai membaca ini. Bukan. Aku pun tak tahu ini apa. Hanya saja, benar, memang aku takut semua ini pergi. Menghilang begitu saja. Aku juga takut, Tuhan.
Takut kenapa, Nak?
Aku takut kalau daun di pohon itu tidak akan tumbuh lagi, Bu.
Tenang, Nak. Daun di pohon itu tidak akan habis kalau kita tetap tersenyum menyapanya setiap pagi.
Bisa begitu, Bu?
Iya, pohon butuh cinta. Bukan hanya pupuk dan air. Pohon butuh kasih sayang manusia. Bukan hanya gelutan cacing tanah di bawahnya. Pohon butuh kita. Manusia. Dan manusia butuh pohon. Jadi, selama ada manusia seperti kamu yang mau melakukan itu semua, daun di pohon itu tetap akan tumbuh seperti semangatmu untuk tetap tersenyum di sisi Ibu, Nak.
Oh, begitu ya, Bu. Tapi, aku juga masih takut.
Takut kenapa lagi, Nak?
Aku takut mereka kelaparan, Bu.
Mereka? Mereka siapa, Nak?
Iya, mereka, Bu. Mereka yang hidup di bawah bongkahan bata, yang berjuang melawan sengitnya matahari, yang tersungkur di dinginnya malam, yang tercambuk keegoisan manusia yang lain, yang terseret-seret oleh keadaan. Semakin dalam, semakin jauh, semakin perih. Aku takut bumi kita tenggelam karena air mata mereka, Bu.
Anakku. Ibu bangga dengan rasa iba milikmu. Ibu bangga dengan kekritisanmu. Iya, ibu tahu betapa perihnya setiap sentimeter langkah mereka. Ibu paham betapa sakitnya sayatan dalam hati mereka. Tapi, sebelum ibu meneruskan, ibu ingin bertanya padamu.
Tanya apa, Bu?
Dengan besarnya rasa ibamu, sebandingkah dengan usahamu menghilangkan rasa ibamu pada mereka?
Maaf, Bu.
Kenapa minta maaf?
Maaf, Bu. Saya belum berusaha untuk menghilangkan rasa iba itu. Maaf.
Hmm, baiklah, Ibu mengerti. Begini, anakku. Hidup itu sama halnya seperti pohon yang kau takutkan akan kehilangan daunnya tadi. Tak cukup usaha dari dalam. Tak cukup kemauan untuk hidup saja. Tak cukup dukungan dari alam saja. Hidup butuh perjuangan, Anakku. Tak cukup kemauan untuk bernafas saja. Tak cukup belas kasihan dari orang lain saja. Tak cukup keringat yang kau teteskan setiap otot-ototmu bekerja. Kau butuh yang lain. Kalau kau hanya diam dan mendiamkan mereka tersayat dan terperihkan, mungkin memang benar bumimu ini akan tenggelam karena air mata mereka. Tapi tunggu, ini bukan sepenuhnya salahmu, bukan salah para pemegang kekuasaan, bukan juga sepenuhnya salah orang-orang yang tiap pagi mengelap mobil berplat merah.
Lalu, salah siapa, Bu?
Salahmu.
Apa? Salahku, Bu? Mengapa?
Iya. Salahmu karena sudah mempertanyakan ini salah siapa. Tidak ada yang menginginkan hidup seperti itu, Nak. Tidak ada yang salah. Tidak ada yang benar. Hanya Tuhanmu yang tahu. Kau masih menganggap Tuhan itu ada, kan? Jika tidak pun tak mengapa, itu hakmu.
Iya, Bu. Aku punya Tuhan.
Baiklah, selesai.
Tapi, Bu. Aku masih takut. Takut burung-burung itu tidak berkicau lagi membangunkanku dari tidur.
Apa maksudmu?
Iya, Bu. Aku takut tidak bisa bangun lagi, Bu. Aku takut mati, Bu.
Begini, Nak. Kau sudah mengakui kau punya Tuhan. Lantas kenapa kau takut mati? Kan semua orang juga akan mati. Akan kembali jadi tanah. Akan digrogoti cacing-cacing tanah yang biasa menggeluti akar pohon yang kau takuti daunnya akan tidak tumbuh lagi. Akan bau busuk. Semua. Iya, semuanya.
Aku tidak tahu, Bu. Aku hanya takut tidak bisa melihat pohon yang kutakuti daunnya akan tidak tumbuh lagi. Aku takut tidak bisa melihat perjuangan hidup orang lain. Aku takut tidak bisa mendengar kicauan burung lagi. Aku takut tidak siap bertemu Tuhanku. Dan, ibu tahu apa yang paling aku takutkan?
Apa, Nak?
Aku takut pergi dari kehidupan ibu. Aku takut tidak bisa mendengar nyanyian ibu. Aku takut tidak bisa merasakan dekapan ibu. Aku takut tidak bisa melihat kilauan mata ibu. Aku takut tidak bisa menenangkan ibu saat ibu menangis. Dan aku takut ibu pergi.
Anakku, ibu tidak akan pergi kemanapun tanpamu.
Sang ibu pun menangis dan mendekap anaknya seerat cengkeraman cakram pada motor. A-hah. Bukan. Ini bukan tentang renungan bahwa kita harus memeluk ibu kita seusai membaca ini. Bukan. Aku pun tak tahu ini apa. Hanya saja, benar, memang aku takut semua ini pergi. Menghilang begitu saja. Aku juga takut, Tuhan.
aku tahu ini bukan cinta
saat kemauan tak sejalan dengan kebutuhan
saat langit tak lagi sehangat dekapan
saat kelopak tak lagi semangat mekar
aku tahu ini bukan cinta
saat hembusan angin mampu menjatuhkan hatiku
saat butiran pasir mampu membutakan pandanganku
saat tetesan air mampu menenggelamkan ragaku
aku tahu ini bukan cinta
karena cinta tidak pernah memaksa
karena cinta tidak pernah meminta
karena cinta tidak pernah mengecewakan
aku yakin ini bukan cinta
cinta seharusnya mendekap bukan menjatuhkan
cinta seharusnya bersiul bukan berdeham
cinta seharusnya membelai bukan mencaci
aku sangat yakin ini bukan cinta
kenapa? kau masih tanya mengapa?
karena cinta tidak bertanya
tapi cinta menjawab
carissa
Surabaya, 27 Mei 2014
saat kemauan tak sejalan dengan kebutuhan
saat langit tak lagi sehangat dekapan
saat kelopak tak lagi semangat mekar
aku tahu ini bukan cinta
saat hembusan angin mampu menjatuhkan hatiku
saat butiran pasir mampu membutakan pandanganku
saat tetesan air mampu menenggelamkan ragaku
aku tahu ini bukan cinta
karena cinta tidak pernah memaksa
karena cinta tidak pernah meminta
karena cinta tidak pernah mengecewakan
aku yakin ini bukan cinta
cinta seharusnya mendekap bukan menjatuhkan
cinta seharusnya bersiul bukan berdeham
cinta seharusnya membelai bukan mencaci
aku sangat yakin ini bukan cinta
kenapa? kau masih tanya mengapa?
karena cinta tidak bertanya
tapi cinta menjawab
carissa
Surabaya, 27 Mei 2014
Kamis, 15 Mei 2014
Sabtu, 01 Maret 2014
everybody has their own way
"mending sekarang belajar aja terus, stress gapapa, ditahan. yang penting nanti senang"
"mending kamu belajarnya pas semua orang pada tidur deh, trus kamu bangun buat belajar"
"mending kamu ikutin saran aku deh, udah ga usah liburan dulu belajar aja nyepi di rumah"
I surely don't understand what are they talking about.
Jamannya kelas 3 SMA nih banyak yang galau. Galauin UN. Galauin mau kuliah dimana. Galauin kerja dimana. Galauin ntar nikah sama siapa(?)
Banyak orang galau = banyak orang curhat = banyak yang ngasih saran = apa banyak juga yang ngikutin saran?
contohnya:
A: "eh bro, pusing nih bentar lagi UN."
B: "ah pusing aja, sana belajar."
A: "udah bro, capek kan belajar terus. butuh refreshing"
B: "ya emang harus gitu bro. ntar aja refreshingnya kalo udah lulus, trus dapet PTN yang dipingin"
A: "yealah bro, masa kaga ada liburannya, bisa stress lah"
B: "nggak ah, buktinya si Anu nggak tuh. dia sukses sukses aja"
A: "oh gitu ya? oke gue coba"
B: "jangan dicoba bro, dijalani."
A: "oke bro, thanks ya"
apa yang bakal kita liat kalo emang dasarnya si A bukan tipe yang suka berdiam diri? Stres? Gila? atau meninggal? -_-
gini deh, daripada cari cara gimana biar sukses dengan niru jalan orang lain, mending cari caramu sendiri. be yourself, seek your own way, live your way. Motivator ataupun orang sukses yang lainnya itukan tugasnya buat nyemangatin, ngasih energi positif, ngasih ilmu baru, bukan ngatur jalan hidup, kan? Kalo kita sudah mengawali dari tengah, apa harus kita niru orang lain mengawali dari bawah lagi? capek cuy. biarin orang lain pakai caranya sendiri buat mencapai sesuatu selagi masih didalam nilai dan norma yang berlaku lah ya. jangan marah juga, kalo misal ada orang lain yang caranya nggak sama kayak kamu. toh juga sama-sama bener.
walaupun kata pepatah: "sometimes the hardest things and the right things are same" bukan berarti yang gampang itu selalu salah, kan? live your life, please jangan tiru orang lain kalo emang itu bukan "kamu". mau jadi apa Indonesia kalo orangnya suka niru-niru? :( mau gitu pemimpin negri boyband atau girlband? :(
jangan keseringan nonton motivator di tv deh, nanti keranjingan terus diidentifikasi terus 'kamu'nya hilang. wadaw. iya kalo cocok. kalo enggak? wadaw. coba deh bangun jiwa motivator di dalam diri sendiri. jadi motivator buat diri sendiri. karena yang paham sama masalahmu cuma kamu sama Tuhan. Life's too short to ruin each other lives. Urus hidup masing-masing. Saling bantu sesama hamba Tuhan aja deh ya.
everybody has their own way. ngapain niru orang lain kalo aku punya caraku sendiri. ya sama, ngapain kamu ngikutin tulisan ini kalo kamu punya caramu sendiri? selama perbedaan itu nggak merugikan diri sendiri dan orang lain, kenapa harus berubah? hehehe :))
"mending kamu belajarnya pas semua orang pada tidur deh, trus kamu bangun buat belajar"
"mending kamu ikutin saran aku deh, udah ga usah liburan dulu belajar aja nyepi di rumah"
I surely don't understand what are they talking about.
Jamannya kelas 3 SMA nih banyak yang galau. Galauin UN. Galauin mau kuliah dimana. Galauin kerja dimana. Galauin ntar nikah sama siapa(?)
Banyak orang galau = banyak orang curhat = banyak yang ngasih saran = apa banyak juga yang ngikutin saran?
contohnya:
A: "eh bro, pusing nih bentar lagi UN."
B: "ah pusing aja, sana belajar."
A: "udah bro, capek kan belajar terus. butuh refreshing"
B: "ya emang harus gitu bro. ntar aja refreshingnya kalo udah lulus, trus dapet PTN yang dipingin"
A: "yealah bro, masa kaga ada liburannya, bisa stress lah"
B: "nggak ah, buktinya si Anu nggak tuh. dia sukses sukses aja"
A: "oh gitu ya? oke gue coba"
B: "jangan dicoba bro, dijalani."
A: "oke bro, thanks ya"
apa yang bakal kita liat kalo emang dasarnya si A bukan tipe yang suka berdiam diri? Stres? Gila? atau meninggal? -_-
gini deh, daripada cari cara gimana biar sukses dengan niru jalan orang lain, mending cari caramu sendiri. be yourself, seek your own way, live your way. Motivator ataupun orang sukses yang lainnya itukan tugasnya buat nyemangatin, ngasih energi positif, ngasih ilmu baru, bukan ngatur jalan hidup, kan? Kalo kita sudah mengawali dari tengah, apa harus kita niru orang lain mengawali dari bawah lagi? capek cuy. biarin orang lain pakai caranya sendiri buat mencapai sesuatu selagi masih didalam nilai dan norma yang berlaku lah ya. jangan marah juga, kalo misal ada orang lain yang caranya nggak sama kayak kamu. toh juga sama-sama bener.
walaupun kata pepatah: "sometimes the hardest things and the right things are same" bukan berarti yang gampang itu selalu salah, kan? live your life, please jangan tiru orang lain kalo emang itu bukan "kamu". mau jadi apa Indonesia kalo orangnya suka niru-niru? :( mau gitu pemimpin negri boyband atau girlband? :(
jangan keseringan nonton motivator di tv deh, nanti keranjingan terus diidentifikasi terus 'kamu'nya hilang. wadaw. iya kalo cocok. kalo enggak? wadaw. coba deh bangun jiwa motivator di dalam diri sendiri. jadi motivator buat diri sendiri. karena yang paham sama masalahmu cuma kamu sama Tuhan. Life's too short to ruin each other lives. Urus hidup masing-masing. Saling bantu sesama hamba Tuhan aja deh ya.
everybody has their own way. ngapain niru orang lain kalo aku punya caraku sendiri. ya sama, ngapain kamu ngikutin tulisan ini kalo kamu punya caramu sendiri? selama perbedaan itu nggak merugikan diri sendiri dan orang lain, kenapa harus berubah? hehehe :))
anyway, thanks for reading :*
Sabtu, 08 Februari 2014
little things that make you feel so special
"hey I can read their eyes, can feel their feeling about me."
who the hell can't do that? most people can.
"hey I can do goyang caisar"
who the hell can't do that? everybody can.
"hey I can feel somebody's staring at me even when I'm sleeping"
who the hell can't do that? everybody can.
"hey I can feel something bad will happen"
who the hell can't do that? most people can.
"hey I can write with closed eyes"
who the hell can't do that? everybody can.
"hey I can whistling"
ok this is pretty hard, but most people can di this.
"hey I can make some sounds with my armpit"
this is disgusting but quite hard, only few people can do this.
"hey I can make some fart sounds with my mouth"
dear, vega... you're so talented.
"hey I can write with my left hand"
who the hell can't do this? everybody can.
"hey I can sleep mouth open"
who the hell can't do this? everybody did that.
"hey I can spell backward some simple words"
who the hell can't do that? most people can.
"hey I can walk backward"
who the hell can't do that? everybody can.
"hey I can smile while I'm crying"
errrr everybody can do that.
"hey I can make an eyebrow dance"
who the hell can't do that? most people can.
"hey I can make my nose dance"
ewhhh, everybody can do that.
"hey my ears can dance like MJ"
ohh, that's pretty hard but most people can do that.
A: So, which one is your talent? Not mentioned yet?
B : What? You say those are kinda talents?
A : Yes Why?
B : Are you nuts? But almost everyone can do that. Those are little things.
A : But those are very serious little things. Can you do all those talents?
B : Obviously, no.
A : Ahah! You can't do all of those talents but you say those are not talents So, who's wrong here?
B : me?
A : you know.
B : Ok. So the meaning of talent is something you can do and it makes you feel special than anyone because you think nobody can do that but you?
A : indeed. do something you like, get benefits, and regret nothing.
who the hell can't do that? most people can.
"hey I can do goyang caisar"
who the hell can't do that? everybody can.
"hey I can feel somebody's staring at me even when I'm sleeping"
who the hell can't do that? everybody can.
"hey I can feel something bad will happen"
who the hell can't do that? most people can.
"hey I can write with closed eyes"
who the hell can't do that? everybody can.
"hey I can whistling"
ok this is pretty hard, but most people can di this.
"hey I can make some sounds with my armpit"
this is disgusting but quite hard, only few people can do this.
"hey I can make some fart sounds with my mouth"
dear, vega... you're so talented.
"hey I can write with my left hand"
who the hell can't do this? everybody can.
"hey I can sleep mouth open"
who the hell can't do this? everybody did that.
"hey I can spell backward some simple words"
who the hell can't do that? most people can.
"hey I can walk backward"
who the hell can't do that? everybody can.
"hey I can smile while I'm crying"
errrr everybody can do that.
"hey I can make an eyebrow dance"
who the hell can't do that? most people can.
"hey I can make my nose dance"
ewhhh, everybody can do that.
"hey my ears can dance like MJ"
ohh, that's pretty hard but most people can do that.
A: So, which one is your talent? Not mentioned yet?
B : What? You say those are kinda talents?
A : Yes Why?
B : Are you nuts? But almost everyone can do that. Those are little things.
A : But those are very serious little things. Can you do all those talents?
B : Obviously, no.
A : Ahah! You can't do all of those talents but you say those are not talents So, who's wrong here?
B : me?
A : you know.
B : Ok. So the meaning of talent is something you can do and it makes you feel special than anyone because you think nobody can do that but you?
A : indeed. do something you like, get benefits, and regret nothing.
Sabtu, 25 Januari 2014
Pernah Nggak, sih?
Pernah nggak sih, tiba-tiba pengen nangis tapi nggak tau kenapa, padahal lagi sama temen-temen?
Pernah nggak sih, ngerasa sepi di antara orang banyak?
Pernah nggak sih, tiba-tiba nyesek gitu aja?
Pernah nggak sih, sedih lihat orang lain bahagia?
Pernah nggak sih, senang lihat orang sedih?
Pernah nggak sih, ngerasa jauh dibawah orang lain?
Pernah nggak sih, ngerasa jauh diatas orang lain?
Pernah nggak sih, mikir gini: kira-kira siapa ya yang benci sama aku?
Pernah nggak sih, mikir: kira-kira kelakuanku sama kata-kataku nyaikitin orang nggak ya?
Pernah nggak sih, ngerasa kalo kamu jadi orang yang paling nggak disukain di satu grup pertemanan?
Pernah nggak sih, ngerasa kamu dijauhin orang tapi nggak tau apa kesalahanmu?
Pernah nggak sih, mikirin kalo seandainya masa depanmu tanpa seseorang?
Pernah nggak sih, mikir udah berapa banyak orang yang kamu bikin sedih?
Pernah nggak sih, mikir udah berapa banyak orang yang kamu bikin bangga?
Pernah nggak sih, mikir gini: aku selalu ada buat orang lain yang butuh aku, tapi kenapa orang lain nggak ada pas aku butuh mereka?
Penah nggak sih, mikir seberapa banyak orang yang peduli kamu?
Pernah nggak sih, ngerasa kalo kamu sama sekali nggak berguna buat orang lain?
Pernah nggak sih, ngerasa nggak dihargain orang lain sama sekali?
Pernah nggak sih, mikir kalo ada orang yang kamu anggap temen tapi dia nggak butuh kamu sama sekali?
Pernah nggak sih, ngebayangin masa tua kamu hidup sama siapa?
Pernah nggak sih, mikir seberapa banyak orang yang bakalan jenguk kalo kamu sakit?
Pernah nggak sih, mikir seberapa banyak orang yang merasa kehilangan dan rindu kamu kalo kamu meninggal?
Pernah nggak sih, ngebayangin seberapa banyak temen kamu yang datang ke hari pemakaman kamu?
Pernah nggak sih, ngebayangin seberapa orang yang ingat kebaikan dan keburukan kamu semasa hidup?
Pernah nggak sih, ngebayangin siapa aja yang bakalan gembira kalo kamu meninggal?
Pernah nggak sih, mikirin siapa aja yang bakalan ngebantu doa tiap hari selain orang tua sesudah kamu meninggal?
Pernah nggak sih, kamu mikirin mau nulis kayak gini?
Pernah nggak sih?
Pernah nggak sih, ngerasa sepi di antara orang banyak?
Pernah nggak sih, tiba-tiba nyesek gitu aja?
Pernah nggak sih, sedih lihat orang lain bahagia?
Pernah nggak sih, senang lihat orang sedih?
Pernah nggak sih, ngerasa jauh dibawah orang lain?
Pernah nggak sih, ngerasa jauh diatas orang lain?
Pernah nggak sih, mikir gini: kira-kira siapa ya yang benci sama aku?
Pernah nggak sih, mikir: kira-kira kelakuanku sama kata-kataku nyaikitin orang nggak ya?
Pernah nggak sih, ngerasa kalo kamu jadi orang yang paling nggak disukain di satu grup pertemanan?
Pernah nggak sih, ngerasa kamu dijauhin orang tapi nggak tau apa kesalahanmu?
Pernah nggak sih, mikirin kalo seandainya masa depanmu tanpa seseorang?
Pernah nggak sih, mikir udah berapa banyak orang yang kamu bikin sedih?
Pernah nggak sih, mikir udah berapa banyak orang yang kamu bikin bangga?
Pernah nggak sih, mikir gini: aku selalu ada buat orang lain yang butuh aku, tapi kenapa orang lain nggak ada pas aku butuh mereka?
Penah nggak sih, mikir seberapa banyak orang yang peduli kamu?
Pernah nggak sih, ngerasa kalo kamu sama sekali nggak berguna buat orang lain?
Pernah nggak sih, ngerasa nggak dihargain orang lain sama sekali?
Pernah nggak sih, mikir kalo ada orang yang kamu anggap temen tapi dia nggak butuh kamu sama sekali?
Pernah nggak sih, ngebayangin masa tua kamu hidup sama siapa?
Pernah nggak sih, mikir seberapa banyak orang yang bakalan jenguk kalo kamu sakit?
Pernah nggak sih, mikir seberapa banyak orang yang merasa kehilangan dan rindu kamu kalo kamu meninggal?
Pernah nggak sih, ngebayangin seberapa banyak temen kamu yang datang ke hari pemakaman kamu?
Pernah nggak sih, ngebayangin seberapa orang yang ingat kebaikan dan keburukan kamu semasa hidup?
Pernah nggak sih, ngebayangin siapa aja yang bakalan gembira kalo kamu meninggal?
Pernah nggak sih, mikirin siapa aja yang bakalan ngebantu doa tiap hari selain orang tua sesudah kamu meninggal?
Pernah nggak sih, kamu mikirin mau nulis kayak gini?
Pernah nggak sih?
Langganan:
Komentar (Atom)