Aku Mentari. Kalian mungkin sudah pernah membaca kisahku sebelumnya. ((http://laestupenda.blogspot.co.id/2014/06/mentari-getir-dan-syukur.html))
Aku Mentari dan kini aku hidup jauh dari sang bunda.
Kisahku kali ini tak jauh berbeda dari yang pertama. Ibunda masih sendiri bersama adik lelakiku yang kini mulai beranjak remaja.
Satu tahun yang lalu, aku putuskan untuk berhenti dari pekerjaanku di salah satu mal di Surabaya. Menuruti kata ibunda, aku mendaftar di salah satu agensi pelatihan yang akan di tempatkan di bandara. Hasil pun keluar, aku dikirim ke Bandara Soekarno-Hatta.
Bertaruh nyawa di Jakarta, mengadu nasib dengan ribuan pendatang lainnya. Aku sadar ini sangat sulit, tapi tak ada pilihan lain saat itu. Aku tangguhkan hatiku berangkat ke Jakarta seorang diri. Tanpa sanak saudara, tanpa handaitaulan. Bulan-bulan pertama sangat mencekat diriku hingga hanya tangis rindu yang bisa aku ungkapkan, Rindu akan kasih sayang ibunda, rindu riuhnya rumah kala bertengkar dengan adikku. Aku juga rindu dengan teman-temanku yang dengan mudahnya bisa berkumpul di saat senggang. Sedangkan aku?
Rupiah demi rupiah aku kumpulkan untuk membeli gawai yang lebih canggih. Komunikasi memang hal krusial dan paling penting. Aku bisa tahan jauh dengan rumahku, tapi aku tak sanggup jika harus putus komunikasi. Bekerja dengan sistem shift dan di bawah outsourcing membuat aku harus bertahan lebih kuat karena fleksibilitas waktu membatasiku. Tak mudah untuk meminta izin cuti. Bosan? Sudah pasti. Beruntung aku memiliki kawan-kawan seperjuangan untuk sekedar berbagi senang dan sedih di perantauan.
Sesekali aku hubungi kawan lamaku di Surabaya. Senang rasanya bisa tertawa kembali mengingat cerita lalu dan membicarakan kawan yang lain, hahaha! Hampir dua jam bersenda-gurau, jam kerjaku sudah memanggil. Berkutat dengan pola kerja yang sama membuat bosan ini semakin menjadi. Namun, rasa itu terkadang hilang saat karena aku bertemu orang-orang yang berbeda setiap harinya.
Belum genap setahun aku bekerja di sini, tapi hatiku ingin segera berlalu. Pulang ke rumah dan berkumpul bersama ibunda. Namun tetap, tak banyak pilihan untuk orang-orang sepertiku. Di sana, teman-temanku bercerita tentang beratnya perkuliahan dan susahnya soal-soal ujian semester. Di sini, aku merasa mempunyai tanggung jawab yang sama besarnya dengan teman-temanku di sana. Berjuang untuk diriku sendiri, untuk ibunda, dan untuk adikku. Aku masih bersyukur bisa bekerja di bawah atap dan makan siang dengan teratur. Aku yakin jika ibundaku yakin, bahwa sesuatu yang indah menunggu orang-orang sabar yang berusaha.
Ah, sudahlah. Aku terlalu banyak mengeluh. Hanya pesan ibunda dan dukungan dari teman-temanku yang aku butuhkan saat ini. Aku hanya ingin lebaran tahun ini aku bisa pulang dan mencium hangatnya tangan ibunda. Aku hanya ingin merasakan khidmatnya syawal di kampung halaman. Aku tidak menuntut lebih, Tuhan. Aku hanya ingin senyum ibundaku hari ini, dapat aku rasakan menjadi senyumku hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar