Jumat, 10 Februari 2017

Girl on A Train

She sat there on the window seat
Threw the long sight through the green of rice field
Tried to read but she kept being distracted
by the muse of the sound of train

A twelve-hour train ride
perfect time to reflect,
to get bored, or
to be pleased

She was a spoiled kid
She couldn't stand any single goodbyes (who could?)
She got attached so easily
She was cheered, yet
so lonely

She learnt how to lead
She learnt how to achieve
She learnt how to dream
She learns

She thought she was tough
tough enough to challenge the world, but
not today darling
She was broken

However,
She was awaken
She is determined,
strong (maybe),
and unpredictable

She is the girl on a train
An odd grown-up girl
different way to think
weird path to act, but still
she likes regular

Her mind wandered again
tried to reach the furthest she could reach
Long way to perfect illusion
She broke the bound

It was evening
Darkness came so fast
Dinner on a train wasn't that appetizing

It was nothing to see through the window
She could only barely see the dimes
Station by station
She was drown in emotion

Midnight and four hours left
It was hard for her to socialize, because
attachment can be very dangerous
She prefers to be detached

She was lost for a moment
then the dawn welcomed her
There she arrived in her destination
In the soil where the dreamers are,
in the soil where histories were made


Senin, 01 Agustus 2016

dari hati hingga ke pelaminan



Semenjak rintik mengering pada setiap ujung daun melati, terasa terpanggil kembali ke masa di mana waktu dan perasaan manusia tiada bersekat. Berhenti dalam sekejap terus berlalu meninggalkan bekas. Kembali aku terka tatap matamu yang teduh merangkul setiap inchi kulitku. Tak kuasa aku menahan dorongan gejolak asa ciptaan Tuhan yang paling membuat susah, cinta.

Kucoba terus gambar sukmamu dalam pikiranku, hingga jelas setiap lesung yang ada pada pipimu. Juntai rambut yang memaksa turun karena tak kebagian gel rambut adalah ritme yang selalu aku nantikan. Begitu pula dengan senyum yang kau paksa saat amarah merundung hatimu. Kerut matamu yang syahdu saat tertawa tak kalah menyejukkan dengan setiap tetes embun pagi. 

Kembali aku dalam angan yang sendirian. Sendu dengan secangkir teh hangat sembari kulukis lagi indahnya berjodoh dengan lelaki pilihan. Namun, apakah yang pilihan sama benar terpilih oleh yang memilih?
Kala hujan menepis setiap debu kegagalan, aku hanyut dalam setiap bayang sayup akan matamu. Tenggelam dalam perasaan semu. Lagi, aku raba raga yang akan mendampingiku mengarungi sisa kehidupan. Bak menarik garis dari satu titik ke titik lain. Kadang tertatih tapi terlatih. Lagi-lagi dirimu.

Sekejap kausambangi aku lagi lewat mimpi. Bersama bunga tidur kau selipkan kata-kata dan sentuhan manis. Samar namun aku tahu pasti itu kamu, kamu dengan sejuta cahaya kasih penuh kehangatan. Terus aku rangkai jejak yang kautinggalkan, menjadi petunjuk di mana aku harus berhenti mencari. Mencari rumah dari sukmaku, mencari naungan untuk jiwaku.

Jika sempurna tak cukup menggambarkanmu, maka karunia Tuhan mana lagi yang ingin dicacat manusia? Orang bilang, manusia yang baik akan mendapatkan yang baik pula, begitu sebaliknya. Lantas, apa aku cukup baik bagimu?



Karena cinta bukan arena politik, tak ada obral janji yang akan kuberikan padamu. Hanya saja, tak akan kubiarkan sayapmu patah sendiri dan akan kupastikan kehadirankulah alasan di setiap merahnya pipimu. 

Untuk dirimu yang selalu aku dambakan kedatangannya, sosok imam dan nahkoda rumah tangga. Untuk dirimu, rumah dari jiwaku. Untuk dirimu nama yang telah terpatri dipasangkan denganku. Tiada badai yang sanggup memisahkan ujung hati penuh asmara, begitu juga ujung simpul senyum yang kita miliki bersama. Teruntuk dirimu yang mungkin sedang beradu kasih dengan yang lain, ketahuilah bahwa kamu adalah bulir doa yang setiap hari aku pinta dalam sujud. Teruntuk dirimu untaian masa depan penuh gelora. 

Teruntuk kamu yang bersemayam dalam angan. Aku jatuh pada heningnya getaran cinta dan aku ingin kita jatuh bersama. Membawa kasih dan kurangnya manusia, dari hati hingga ke pelaminan.

Sabtu, 16 Juli 2016

Bulan di Pelupuk Mata

Berbicara dengan cahaya rembulan seperti biasa, menghangatkan.
Ditemani suara jangkrik mengiringi tidur setiap mata kelelahan.
Degup jantung dan denyut nadi terarah bersama.
Kerlip kejora memluk lembut setiap irama.

Kamu dan jutaan jiwa penuh gairah.
Aku dan pikiranu sendiri mencoba tergugah.
Kamu dan jutaan semangat sepanas api.
Aku dan rasa takut yang tak kunjung menepi.

Ada bulan di pelupuk mata.
Sekedip ada sekedip sirna.
Ada aku dan anganku.
Sekejap sambang sekejap hilang.

Surabaya, 19 April 2016.


Kamis, 18 Februari 2016

You Don't Live Alone

There'll be the time you ask yourself
why you keep asking your surroundings to figure out what was happening last night.

The feeling when you're about to kill your ego then someone came to you and said, "Don't! You need that to survive!"
Sometimes, anger and lust are just as wonderful as patience and love.
It's just all about timing.

Too long.

Too deep.

Too dark.

Dwell inside your ego is always trippy.
Once you go wrong there's no turning back.
Once you say good, applause is in all corners,
then fade as fast as you catch your next breath.

There'll be the time you wake up sad and realize,
how precious your time was.
Built in with patience and love,
and fenced up by anger and lust.
Defense is important,
but somebody's heart is everything.