Selasa, 01 Desember 2015






Sepi. Biasanya kau merengek minta disuapi.
Biasanya merintih menahan perih setiap kau bernapas.
Sedih rasanya sudah tidak ada yang menggangguku 
lagi dengan rintihan dan keluh kesahmu.
Hmm, tapi aku senang sekarang! Dengan banyak tetesan darah
di tangan dan wajahku, aku bisa membantumu pulang.

Jangan lupakan aku, ya! J
Saat adzan dikumandangkan, yang ini begitu menyayat hati. Di lubang petak sedalam dua meter. Aku tahu kau dengarkan itu seperti senandung senja kesukaanmu. Saat adzan dikumandangkan, kupaksa tarik simpul bibirku . Hari ini kuantar kau pulang ke rumah Tuhan. “Aku tunggu di surga, ya!” dengung suaramu dalam telingaku

Rabu, 18 November 2015

About Death: a short story

It was raining outside when I here you calling out for someone's soul to go back home
I stood there trying to hold my tears
Heart beat faster, hands started to tremble
Lips were shaking then I realised you'd come to me soon

I remember the first time I've lost someone whom I waited for so long
No longer than 72 hours
My heart broke into pieces
Couldn't see her face, or even touch her cold skin
Words were stuttered as I tried to hide my tears behind my silence
I remember someone who wrote the gravestone even asked in shout, "who's her name?" as he held a marker and started to write on that white-cold stone
You didn't even have a name when the death came to pick you up, geez
I was 12 that day

I remember the first time I walked from the house to the cemetery handing a big bowl full of flowers
Capturing every single expressions of mourners
Comparing theirs with my own
My eyes were down, my legs shaking
and I kept imagining
I remember the first time I saw a body wrapped in white fabric being buried into the ground
Couldn't hold my tears anymore
It streamed down slowly as I was trying hard to hide it
Flowers were sowed
Hole was closed
Tears came down and cracked my eyes in silence
I was 15 that day

Death comes in sudden
It don't ask you to be well-prepared
It don't inform when it will knock your door
It don't ask for your permission

It's been years since first I experienced a death
Heard many sad news
Saw many biers lifting a dead body
Slightly wonder how is my death going to be

Then, I was scared of ghost when I heard the death news came up from my neighbors
But now, as I grew up and understand life better, I am scared of death will knock my door after it


Rabu, 14 Oktober 2015

Pendidikan Seks: Tabu atau Perlu?

"Apaan sih, masih kecil kok diajari seks"
"Kok anak kecil ditunjukin yang kayak begituan sih"
"Wah gak bener nih, masih anak-anak kok gak mungkin lah main seks"
"Akidah yang dibenerin, gak perlu lah pendidikan seks"
"Sekolahin yang bener makanya, biar gak main main seks di luar nikah"

Segala stigma-stigma buruk tentang pencanangan pendidikan seks di Indonesia sudah kenyang kita dengar. Jangankan memasukkan pendidikan seks pada kurikulum sekolah, berita pembagian kondom gratis saja sudah membuat orang-orang kalang kabut. Sebenarnya, seberapa penting kah pendidikan seks untuk anak-anak di Indonesia saat ini?

Jumat, 25 September 2015

brokenhearted doesn't need advices

Have you ever been told by someone about their stories? I bet yes of course.

Did you ever listen to their stories? Again, I bet yes.

Did you ever understand what they actually feel? Some may yes, some may no.

Here, I'd like to tell you about some important things how to understand your friends' feelings.

First, when your friends tell you about their happiness, just be happy for them whether it's good or bad. You can explain your inconvenience later on after their smile go away from their face. 

Second, this may be the hardest thing to not be done by most people. When your friends are sad, ask them why. If they do not answer it, all you can do is don't push them to tell you what they've been through. Just wait, and cheer them up as long as you can. 
However, if they tell you what their problem is, listen carefully. Don't ask any question until they permit you to do so. When they're done, all you can do is say some curing words like "sabar ya", "kamu pasti kuat", "kita di sini buat kamu kok", "don't be sad too long, you're too precious to cry", etc. Do not offer any suggestion if they don't ask any. Just don't. Or even the worse, don't blame them right after you listen to their story, they may forget to tell you the detail-missing parts. 
What if they ask your suggestion or advice?

Here some rules when you have to give any advice or suggestion:
1. Do not be a teacher. Do not preach your friends like you told your little sister to do something good.
2. Do not argue with your friends. Let them talk if they don't disagree with your opinion. In the end, its their life, not yours.
3. Do not compare your such experience to theirs. You may miss something they did not tell you.
4. Do not ask too much. Detail may be perfect to complete your suggestion, but when your friend won't tell you the little hidden part, don't give them any pressure to do it.


I personally admitted that I've done many mistakes like I didn't completely do my suggested "rules". But yes, my past shows what I've done wrong and so I can make it better.

Overall, my conclusion is that brokenhearted doesn't need advice, a long warm hug can be an instant cure of it. Cheers, fellas!



Rabu, 24 Juni 2015

rindu

sendu karena rindu
bertamu dalam semu
empat bola mata saling menatap
lewat jendela tanpa atap

satu langit bersama yang lalu
terasa berat tapi syahdu
semakin lama semakin ngilu
rasa tak sama setiap minggu

lewat siul kucoba memanggil
dalam dingin kau menggigil
eantah sampai kapan batas membatasi
sampai habis kuhabisi

habis rindu tak habis rasa
seperti kuasa akan asa
tipis menipis kurangi candu
sampai bertemu menuai rindu


Senin, 08 Juni 2015

Pecah



tersumbat
seperti tak ada jalan keluar
sepatu tetap mengetuk
melangkah menabrak batas

masih belum lancar
coba ku mendorong
lalu tarik
kembali lagi tersumbat

buntu
ingin mendobrak tapi takut pecah
retak pun ku tak ingin
jika rusak aku tak berdaya

pyarrr
tujuh ketuk sepatu
enam putaran engsel
seribu sembilan ratus sembilan puluh enam nafas terhela
akhirnya bebas

pecah 
lalu menari keluar
tertawa sejenak dengan air mata
sampai sembilan belas dentuman bumi
lalu tercekat aku

pening berpikir
terisak menangis
tertawa tersedak
bernafas terlelap




Rabu, 20 Mei 2015

Hening



Terdiam sejenak
Menatap langit yang tanpa bintang
Menunduk lagi
Berpikir

Terpejam kemudian
Melawan suara dari otak
Membendung amarah dari hati
Dia berdiri

Melangkah setapak
Kepalanya mendongak
Menahan keluarnya air mata
Sekali terbuka semuanya pecah

Hening
Merinding
Mendekap dalam sendu
Menangis bersama pilu

Semakin hening
Air mukanya menjadi bening
Menarik simpul bibir
Menjemput apa yang menjadi akhir

Senin, 11 Mei 2015

Kedip

satu kedip
kau masih di sana

kedipan kedua
kau tetap di sana

terpejamku sesaat
baumu masih tercium dari sini

ku buka lagi
kini tinggal bayangmu

berkedip lagi aku
hanya memori yang kau tinggal

sampai aku tak berani menutup mata
terbuka ku melihat semuanya

berkedip aku tak sanggup
terlalu takut yang lain ikut hilang


Senin, 04 Mei 2015

Pemimpi Bernyali Sampai Mati (re-post)

Orang kira ini tentang siapa yang berlari paling depan. Tapi bagiku, ini tentang siapa yang berjalan tegap sembari mengatur ritme menuju tempat terbaik. Tak jarang orang-orang beranggapan bahwa yang pertama selalulah seorang pemenang. Kadang aku juga berpikiran seperti itu. Wajar.
Lalu, apakah yang kedua, ketiga, bahkan yang keseratus itu pecundang? Ya? Bagiku tidak. Ingatkah kalian pada kisah kura-kura dan kelinci? Sang juara juga bisa jadi pecundang :)
Ini bukan tentang siapa yang tertawa dahulu. Ini tentang berapa banyak keringat dan air mata.
Pernahkah terlintas rasa takut untuk menjadi seorang pemenang? Sering bagiku. Ada rasa mengganjal yang sulit aku jelaskan. Ketika aku merasa tenaga yang aku keluarkan untuk menggores pena tak sekuat yang lain. Ketika tetesan air mataku kurang deras membasahi sajadah. Ketika hasratku tak semenggebu ribuan jiwa yang haus akan kemenangan. Dari sanalah rasa takutku tumbuh saat aku harus tertawa di atas rasa kecewa orang lain.
Bukan aku tak mau menjilat rasanya takhta raja. Bukan aku tak mau menghembus udara penuh gelora. Bukan aku ingin tenggelam terlalu lama. Aku hanya takut jatah senyumanku habis ketika para penyusul meraung manja mencoba merebut medali yang sudah di pelupuk.
Banyak aku dengar cerita orang-orang sukses yang harus bermandikan lumpur sebelum mengecup hangatnya air dalam bath up. Yang harus berkawan dengan celaan sebelum duduk tegap penuh sanjungan.
Aku juga pernah dengar kisah penginstan kehidupan yang masa tuanya harus mengiba kepedulian orang lain. Yang setiap sore memandang sendu dari kursi rotan panti werdha.
Tapi semua tak selalu seperti itu. Hanya saja mata kita tak sanggup melihat silaunya masa depan. Tangan kita tak sanggup menjangkau jutaan peluang. Kaki kita tak sanggup berderap sekaligus pada ribuan jalan. Dan hati kita tak sanggup membendung gelora duniawi yang hanya sekejap.
Sekali lagi, aku tak pernah mengutuk jalan pintas. Aku hanya takut silaunya masa depanku jadi redup, peluangku jadi basi, derapku jadi lumpuh, dan hatiku jadi mati. Aku juga tidak menuhankan rasa sakit saat tersungkur sementara yang lain masih bebas terbang. Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya mencium amarahku sendiri, bergelut dengan kecewaku, dan bergurau dengan sepiku saat yang lain sudah riuh dengan mahkotanya masing-masing. Aku hanya ingin punya cerita yang bisa membuat orang lain bertepuk tangan atas asaku untuk bangkit.
Dan lagi, hal seperti ini yang membuat otakku menggelembung penuh andai. Hatiku pun nampaknya mulai terpompa dengan gairah yang mungkin tidak bisa terpuaskan. Begitu juga kesanggupanku untuk bertahan berpura-pura menjadi karang terjal dalam kehidupan, semakin lembek. Atau mungkin, semakin mengeras? Ah, terlalu jauh sudah aku bawa rasa takut ini.
Terlalu berkelut pada rasa takut tak akan membuat gunung berpindah ataupun air di laut mengering seketika. Aku sadar dan kini paham apa yang selayaknya aku perjuangkan. Sudah cukup saatnya bagiku untuk menentukan dengan siapa aku harus berlayar. Di mana aku akan berlabuh. Kapan aku harus menebar jala. Kapan aku melepaskan amunisi. Untuk siapa keringat ini aku buang. Kepada siapa air mata ini berhilir.
Seperti kata para tetua, berjuanglah harumkan nama bangsa, negara, dan agama. Terlalu muluk-muluk bagiku. Berjuang untuk membanggakan diri sendiri rasanya sulit, kan? Tapi, tidakkah kalian berpikir seberapa hinanya hidup kalian jika membuat bangga diri sendiri saja tidak mampu?
Setelah beberapa kali tau rasanya dicambuk dan ditampar tangan dunia, aku mengerti bahwa perjuangan tak lagi tentang harga diri. Namun, perjuangan juga tentang untuk siapa harga diri kita persembahkan. Demi air mata orang tua, demi teriakan semangat para sahabat, demi ludah yang dilemparkan para musuh ke wajah kita, demi peluh para guru kehidupan kita, dan juga demi setiap detak jantung kita selama ini.
Terserah jalan mana yang ini kau tempuh, kawan. Karena kapan kau berhenti membunyikan ketuk sepatumu, kau tentukan sendiri. Begitu juga apa yang akan kau hembus di ujung perjalanan perjuanganmu. Jika kau pernah berpikir untuk berhenti berjuang, ingatlah berapa banyak tetes keringat, tangis, dan cacian yang kau terima. Keburukan tak selamanya harus dibalas dengan air tuba. Karena tembok yang terus dilumuri tinta hitam takkan pernah memantulkan cahaya. Mulailah dengan memercik tinta putih untuk menerangi hati dan jiwa yang kelam. Kawanku, kalian tidak sendiri. Jika kau pernah berpikir perjuanganmu akan sia-sia, mulailah berpikir, di sini ada aku, ada kami, para pemimpi sama sepertimu. Para pejuang yang haus akan puncak. Kita. Persembahkanlah usahamu untuk kita. Jangan kau simpan sedihmu sendiri, buanglah di mana kegagalan bermuara. Jangan pula kau simpan kemenanganmu sendiri, tebarlah bahagiamu, tanamkan semangat barumu pada benih-benih pemimpi yang mencoba mendaki tempatmu berdiri.
Pemimpi tak pernah berhenti. Pemimpi bernyali sampai mati.

Rabu, 22 April 2015

Jangan

jangan biarkan aku sendiri
sendiri memikirkan apa yang telah lalu
sendiri memikirkan apa yang sedang terjadi
sendiri memikirkan apa yangakan menjemput

jangan biarkan aku sendiri
terperangkap bersama sendu senja
lenyap bersama hatiku yang rapuh
sendiri bersama hampa

jangan biarkan aku menghilang
tenggelam bersama air mata
terhempas bersama debu kesedihan
terdiam bersama kebingungan

jangan biarkan aku terdiam
karena tawaku akan mencair menjadi air mata
karena mimpiku akan terbang bersama asaku
karena jiwaku akan melayang tanpa arah

jangan
jangan kau ikut terdiam
karena nafasmu kini jadi nafasku
dan suaraku kini jadi suaramu

bicaralah
temani aku
tersenyumlah
raih sedihku
sembuhkan lukaku





Menunggu Hujan

Kering tak kunjung habis
Menyelimuti setiap titik pelupuk mataku
Membuat perih setiap berkedip
Juga rindu yang semakin menyeruak
Mencakar-cakar dan berteriak ingin keluar

Kering semakin menjadi
Membawa terik yang mengeringkan hatiku
Asa yang dulu basah kini kerontang bersama gelora
Tertidur dengan jutaan mimpi basi

Semakin kering semakin gundah
Semakin sirna alasanku untuk tetap membuka telinga
Mencoba mendengar celetuk tawa pun aku tak sanggup
Apalagi harus mendengar deru air matamu yang semakin menggebu

Kering membuatku tak berarti
Aku tak bisa dan tak sanggup melawan kering lagi
Tanpa sayap perengkuh setiap tulangku yang hampir rapuh berkeping
Seakan habis masaku untuk terbang menebar bunga cinta untuk setiap jiwa

Aku butuh tetesan suci dari awan-Mu yang agung
Aku butuh cipratan gairah yang baru yang mampu menambal setiap lukaku
Memupuk kembali tanah cita-citaku
Sehingga merekah menjadi harapan baru untuk menuai cinta



am I?

People may say that I am different.
I am different because I don't think like the way ordinary people do.
I am different because I don't walk in the same path with the others.
I chat much,
but I talk less.
I think much,
but I confess a bit.
I am different because I sing what others don't.
I am different because I see what ordinary ones don't.
I read books,
and people,
and situations,
and feelings,
and others.
I calculate,
not gamble.
I discuss,
not explain.
I tell a story,
not the secret.
I am extrovert,
yet so introvert.
You may think that being me inside my "world" would be better than yours
but, also you may think that mine is so awful or pathetic,
I do think so by the way.
I am different because I know what you don't
otherwise, you must know what I do not.
I am different because I can say that I am different
not you, ordinary people, that told me that I am different
I take chances,
not the risks.
I plan for the best,
not for the worst.
I worship,
not ask.
I learn,
not study.
I change the apparent,
not clothes.
I behave,
still I do curse and sarcasm.
I am not weird,
you may can buy google glasses
but you can not afford the can-see-human-from-another-perspectives glasses
you, therefore, can't see the special thing from others.
I do write to express,
and obviously to impress.
I read a poetry,
not magazine.
I am who I am,
not you with all your bubbly words.

so, if once you read this one out, then you feel the same, it's okay. It won't make us be ordinary people. Just one thing you have to remember, a song never sounds the same with different singers.

Sabtu, 11 April 2015


























                                                 hentinya suara gemuruh hujan,
                                                 tak berarti rintik telah pergi
                                                 seperti yang dulu pernah ada
                                                 lalu menghilang,
                                                 tak berarti kenangan ikut berlalu
























Kamis, 26 Maret 2015

there are some times

There are some times you can't understand your life, even yourself. Blaming all your surroundings. Cursing all the outer minds. Sit in the corner re-thinking about your past faults. Imagining your sweet and lovely future.

There are some times that all you want to do is cry. Cry a lot. Running from your shiny bright life that burns your eyes. Then crawling back and re-spinning your yarns.

There are some times you always question. Why it here. Why it there. Too deep that you can be drown. Too high that a swing can't fly you up.

There are some times you get down by human being. And there are some times to tackle them as smooth yet so hard as you tickle them with your breath of a champion.

Minggu, 01 Maret 2015

Anak Awan (2nd)

Aku rindu awanku
Lama tak bersua dengan gumpalan ajaib membuatku kaku
Terkekang dengan amarahku
Terpasung dengan sedihku

Aku rindu gumpalan ajaibku
Tak sanggup lagi aku menahan kantung-kantung air mataku
Tak kuat lagi aku menyembunyikan peluhku
Aku butuh awanku

Aku ingin awanku kembali
Selayaknya seorang anak merindukan dekapan sang bunda
Merangkul setiap persegi dari kulitku
Mengusap setiap gundah dari hatiku

Aku ingin bertemu awanku
Mencurahkan semua yang tertahan
Gusar dan amarahku kuserahkan padanya
Biarkan awanku bersenandung sesuai inginnya

Anak awan merindu akan yang dikagumi
Stratus menyeruak bersama mentari
Bersiul merdu mendampingi burung gereja
Disusul cumulus yang penuh gairah
Bertatap muka dengan nimbus pun aku sudah senang
Berbagi pedih dan sendu
Berkolaborasi menghasilkan hujan
Ketika rintik lembut membasuh kepalaku, aku tahu kau sudah di sana
Menunggu jawaban atas masalah yang kau pendam
Menanti hal baru yang mampu membuatmu menampilkan barisan gigi gigi indahmu

Tak ada yang pernah tahu apa yang awan bicarakan
Seperti rahasia antara dua dimensi
Dua hati
Dua pasang mata

Awanku tahu segala rintih tanah di bawahnya
Awanku mengerti segala risau dedaunan di bawahnya
Awanku juga tahu segala riuh air di bawahnya
Awanku tahu aku membutuhkannya